“Memang dia berbentuk sastra, hanya saja tidak tersusun seperti puisi. Ditulis sambung menyambung. Setiap lima suku kata ini, irama yang lima. Karena pada saat dinyanyikan harus mengikuti irama yang lima-lima itu. Kurang atau lebih, akan menyebabkan ‘faals’. Sayang kita tidak bisa menghadirkan ‘pasure’ dari Sengkang, tentang cara membaca Lagaligo itu dengan baik dan mereka paham dengan terjemahannya,” sebut Nurhayati Rahman.
Penerima Kalla Award ini menyebutkan, seperti apa perempuan-perempuan dalam Lagaligo. Hampir seluruh pakar di dunia ini menyebut, sistem kekeluargaan yang terbangun di Sulawesi Selatan tidak menganut “patrialchat” seperti di Barat, tetapi bilateral. Kompetensi, kemampuan, dan potensi kegiatan di ruang publik dan siapa di ruang domestik harus berdasarkan kesepakatan. Hal ini tergambar dengan jelas dalam Lagaligo.
“Setiap akan mengambil keputusan, pasti harus musyawarah dan harus setia pada hasil musyawarah tersebut,” ujar Nurhayati Rahman yang baru menuntaskan alih aksara dan alih bahasa Lagaligo Jilid IV yang tebalnya 817 halaman bersama Basiah dan Faisal Oddang.
“Coba anak-anak bayangkan, kalau tidak kuat imannya bisa lari terbirit-birit. Jadi, begitu panjangnya, sehingga menjadi ‘Memory of the World’ berdasarkan penatapan UNESCO di bawah PBB, ” kelakar Nurhayati Rahman.
Dokumen yang termasuk “memory of the World ”dari 496 di seluruh dunia, 11 di antaranya ada di Indonesia. Selain Lagaligo, juga termasiuk Arsip Konferensi Asia Afrika, Babad Diponegoro, Arsip VOC, Arsip Konservasi Borobudur, Arsip Tsunami, Negarakartagama, dan Cerita Panji. Pidato Bung Karno “The Build The World Anew”, Hikayat Aceh, dan Pertemuan Pertama Gerakan Non Blok.
Di dalam naskah Lagaligo, kata Nurhayati Rahman, kisahnya, laki-laki harus banyak kawin karena sebagai pembawa benih. Kalau salah persepsi, kita akan menganggap Sawerigading ini “play boy” karena dia 67 kali kawin. Pertama dia kawin dengan sepupunya, tetapi suatu saat dia melihat sepupu-sepupunya yang lain begitu banyak dan tidak kawin, tidak ada yang berani melamar sepupunya kalau bukan Sawerigading. Dia meminta izin pada ayahnya, Raja Luwu.
“Dia tidak bilang akan mengawini sepupu-sepupunya. Dia tidak begitu. Dia mengatakan, saya ingin mengembarkan kamar-kamar istriku. Kaget ayahnya,” kata Sawerigading ungkap Nurhayati Rahman.
“Maksudmu kau mau kawin lagi, tanya ayahnya tentang sepupu-sepupu Sawerigading yang jumlahnya lebih 40,” kata Nurhayati Rahman kemudian menambahkan, hanya dua sepupunya yang dia tidak kawini karena terlanjur menikah. Yang lainnya dia kawini semua.
“Ok, kamu boleh mengembarkan kamar-kamarmu, mengawini sepupu-sepupu dengan syarat kalau dia mau. Kalau tidak mau, jangan paksa. Kedua, kalau dia minta syarat, harus kau penuhi. Jadi, setiap kali dia mengawini sepupu-sepupunya, dia (Sawerigading) bertanya, mau tidak sama dia. Siapa perempuan yang tidak mau laki-laki seganteng itu, keturunan dewa lagi. Semua mau. Perempuan mau minta diberi mahar seperti istrinya yang lain. Maharnya sama semua. Ternyata uang ‘panai’ dulu hanya berlaku di kalangan raja-raja karena ada yang namanya ‘membeli kebangsawanan”nya itu. Jadi perempuan diberi hak untuk menerima atau tidak. Kapan tidak diterima syarat yang diajukan perempuan, tidak boleh,” beber Nurhayati Rahman.
Yang paling ekspresifnya wanita dalam Lagaligo, setiap kali Sawerigading turun ke tempat penyabungan ayam, gadis-gadis mengintip dari balik jendela rumah mereka. Setelah menyaksikan Sawerigading, gadis-gadis itu mengungkapkan keinginannya mau kawin dengan dia, meskipun hanya satu malam. Mereka kirimi surat dalam lontarak kepada Sawerigading.
“Ceweknya jatuh cinta pada cowok. Tidak bisa tahan melihat ketampanannya (Sawerigading). Tetapi ada yang tak tertulis, semua rakyat biasa yang ‘berhubungan’ dengan Sawerigading, tidak memiliki anak karena hanya semalam. Mereka itu adalah perempuan-perempuan yang menyuratinya minta dikawini,” ungkap Nurhayati Rahman.
Begitu pun dalam hal perlakuan, Sawerigading harus berlaku adil. Kalau tidur harus satu sarung berdua. Tidak boleh tidak. Kalau jalan harus bergandengan tangan. Kapan Sawerigading tidak memperlakukan salah satu istrinya seperti itu, maka akan terjadi pergolakan dan wanita punya hak minta cerai. Jadi, Sawerigading sangat menjaga perilakunya agar dia menikahi dan mempertahankan perkawinannya dengan baik.
Nurhayati Rahman menyebutkan, ada juga konsensus di dalam Lagaligo bahwa jika wanita lebih rendah statusnya dari laki-laki, dia harus pergi mengawini laki-laki itu. Sebaliknya, kalau wanita lebih tinggi derajatnya dari laki-laki, maka laki-lakilah yang harus pergi melamar.
“Oleh sebab itu, kembarnya Sawerigading itu karena lebih tinggi, dia tinggal di langit, sementara Sawerigading harus berlayar berbulan-bulan ke Cina karena We Cudai (yang kemudian dinikahinya) dianggap lebih tinggi derajatnya dari Sawerigading,” kunci Nurhayati Rahman dalam acara yang juga dihadiri Eddy Tamrin (Yudi Sukatanya) yang menjadi penyunting buku “Aku di Antara Santri dan Tradisi” dan penulis Andi Wanua Tangke serta sejumlah dosen dan mahasiswa Unhas. (MDA).