Dalam sambutannya, ia juga menyinggung kedekatan antara Hari Raya Nyepi dan Idulfitri yang segera dirayakan umat Muslim.
“Momentum ini mengingatkan kita akan pentingnya toleransi. Dalam ajaran Hindu, ada konsep Tat Twam Asi—Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku. Nilai ini mengajarkan kita untuk melihat diri dalam orang lain, menanamkan empati, serta memperkuat persaudaraan lintas iman.”
Yulius pun mengajak umat Hindu di Tomoni Timur untuk menjadikan Nyepi sebagai ruang refleksi, kembali pada kesucian diri, dan memperkuat hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Mari kita jalani Catur Brata Penyepian dengan kesadaran penuh, membawa kedamaian bagi diri, lingkungan, dan sesama,” tandasnya.
Pawai ogoh-ogoh ini lebih dari sekadar tontonan. Di balik gerakan lincah para pemuda yang mengayun-ayunkan raksasa anyaman bambu dan kertas, ada filosofi mendalam.
Ogoh-ogoh adalah wujud dari Bhuta Kala, kekuatan negatif yang perlu dikendalikan sebelum memasuki Nyepi. Melalui prosesi ini, umat Hindu menyucikan alam semesta, mengusir energi negatif, dan menata kembali harmoni dengan semesta.
Siang berganti malam, tapi semangat tak surut. Di bawah sinar lampu lapangan, suara gamelan Bleganjur terus menggema, mengiringi arak-arakan terakhir menuju akhir perjalanan.
Ogoh-ogoh, yang sejak sore diarak dengan megah, kini bersiap menuju titik pamungkasnya—dilarungkan dalam ritual yang menutup satu babak, sekaligus membuka lembaran baru menuju keheningan suci Nyepi.
Pada kesempatan ini Panitia penyelenggara menyerahkan uang pembinaan kepada tiga pura yang telah ikut berpartisipasi dalam pawai ogoh-ogoh ini. (yul)