Kita sudah akrab dengan nilai siri’ na pesse, yang mencerminkan harga diri dan empati. Begitu pula dengan sumangeq dan ininnawa—daya hidup dan hati nurani—yang menjadi sumber kekuatan kita untuk bertahan di tengah badai zaman.
Tapi semua nilai itu hanya akan menjadi cerita lama jika tidak kita hidupkan dalam keseharian. Sirui Menre Tessirui No’ adalah perpanjangan tangan dari nilai-nilai tersebut, tetapi dalam bentuk yang lebih aplikatif dan terukur.
Di sinilah KKSS harus hadir sebagai organisasi yang bukan hanya menjaga kebudayaan, tetapi juga menjadi motor penggerak kesejahteraan dan pemberdayaan.
KKSS hari ini harus tampil sebagai jaringan sosial yang tidak sekadar berhimpun, tetapi berfungsi—menjadi simpul penghubung antarwarga perantauan dengan berbagai latar belakang profesi, generasi, dan potensi.
Kita butuh sistem pendataan, pemetaan sumber daya, dan program-program yang mendorong capacity building bagi warga.
Setiap anggota KKSS adalah akar dari pohon besar yang sama. Jika akar saling menguatkan, maka pohon itu tidak akan tumbang meski diterpa angin perubahan. Dan bila satu akar menemukan sumber air—yakni ilmu, pengalaman, peluang—maka air itu harus disalurkan ke seluruh bagian agar pohon bisa terus hidup dan berkembang.
Oleh karena itu, menjelang perhelatan Musyawarah Besar KKSS ke-12 tahun 2025 ini, saya mengajak kita semua untuk menjadikan Sirui Menre Tessirui No’ bukan hanya semboyan, tapi gerakan kolektif dalam organisasi KKSS—dari pusat hingga wilayah, dari kota hingga desa, dari yang tua hingga generasi muda.
Mari kita hidupkan budaya bantu-membantu bukan hanya saat bencana, tapi juga dalam membangun masa depan: membantu sesama memulai usaha, membuka akses pendidikan, menciptakan jejaring profesi, serta mengangkat potensi lokal ke tingkat nasional dan global.
Karena sesungguhnya, jika satu di antara kita naik, maka kita semua akan ikut naik (Sirui Mendre). Itulah arti tumbuh bersama, menuju kejayaan bersama dalam wadah paguyuban KKSS yang kita cintai bersama. (*)