Aspar Paturusi, Merayakan Usia Senja dengan Buku Puisi

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Aspar Paturusi memahami betul keluruhan nilai-nilai, kearifan, dan filosofi budaya Bugis-Makassar. Laut, arus, ombak, pulau, layar, kemudi, perahu pinisi, pantai Losari, badik, dan diksi-diksi yang dapat ditarik ke akar tradisinya.

Dalam buku puisi “Perahu Badik: Membaca Laut”, Sapardi Djoko Damono memberi kata pengantar dengan menulis bahwa Aspar Paturusi meyakinkan kita bahwa dirinya laut, tak lain tak bukan. Asal-muasal, nasib, cinta, petualangan, kematian—semuanya memanfaatkan laut sebagai citraan dan acuan (halaman 14).

Laut bukan saja simbol, tapi pengamalan penulis yang ikut membentuk karakter dirinya dan kebudayaan leluhurnya.

Itu pula yang disampaikan Maman S. Mahayana, dalam buku “Badik” (Aspar Paturusi, 2011). Bahwa anak lahir dari rahim ibu budaya dan ibu budaya itu yang akan mengantar dan melindungi si anak menuju kehidupan mahaluas. Ulasan ini sebagai catatan tafsir atas puisi “Tidurlah Tidur” yang biasa dibawakan secara duet oleh Pak Aspar dan Bu Lasmy, istrinya.

Puisi yang menggambarkan kasih sayang orang tua kepada anaknya dengan segenap doa dan petuahnya ini, merujuk pada dongeng pengantar tidur, yabe lale, atau lagu ninabobo ala Bugis.

Puisi, tulis Maman S. Mahayana untuk pengantar buku “Secangkir Harapan” (Aspar Paturusi, 2012), adalah dunia kecil yang tidak jarang menyimpan peristiwa besar. Seolah-olah penulisnya bercerita tentang hal kecil yang remeh-temeh.

Namun, lantaran cantelannya berkaitan dengan persoalan kemanusiaan, maka ia menjadi peristiwa universal dalam pengertian sebagai problem manusia sejagat. Maka puisi bagai wadah kecil yang kenyal dan elastis, yang di dalamnya bisa memuat apa saja.

Semua catatan yang saya himpun dari buku-buku yang lebih dahulu diterbitkan itu, seolah “tertulis dan terekam” kembali dalam buku teranyarnya “Dari Yaya Papa Nek Aya Kakek Puang, Jejak Cintaku yang Tertulis dan Terekam”.

Baca juga :  Obituari H.Masri Pulubuhu bin Armain, Kami Dipertemukan Lagi Saat Suksesi

Buku yang dipenuhi foto-foto keluarga ini tidak sekadar album kenangan, tapi juga merekam peristiwa dan momen-momen memorable Asdar Paturusi di atas panggung, sebagai penyair dan aktor, saat menerima Piala Vidia, dan dalam interaksi kesehariannya bersama anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya.

Buku yang berisi lebih 60-an puisi ini, dimulai dengan puisi “Rindu yang Kukirim” dan beberapa puisi tentang dan kepada ibundanya.

Foto Aspar dan ibunya, dengan caption “Si bungsu nakal bersama ibu. Foto sekitar 44 tahun silam. Ibu berpulang  di usia hampir 100 tahun”, mempertegas kerinduannya.

Sejumlah puisi lamanya, yang ikonik dimuat kembali dalam buku ini, di antaranya “LakekomaE”, “Badik”, dan “Makassar”. Konon, tanda-tanda orang sudah tua itu kalau suka bernostalgia hehehe.

Dalam puisi berjudul “Duh Lutut”, ditulis di Cisarua, 16 April 2016, pengakuan akan usia senja itu tersiratkan. Saya membaca bagian akhir puisi ini sembari tersenyum karena terasa komikalnya:

Kota demi kota kau jelajahi
kau seret aku menikmati indahnya negeri
bahkan negeri-negeri yang jauh
kau bagi senyum bahkan cinta
pada perempuan yang rupawan
betapa manis dan indahnya masa jejaka
tetapi kudengar kini keluhmu:
“Duh lutut!”

Refleksi akan usia dan eksistensi diri tergambarkan pula dalam puisi-puisinya. Puisi berjudul “Lingkaran Senja Usia”, “Senja Usia”, “Lelaki Tua”, “Kakek Oh Kakek”, “Ada ke Tiada”, “Tak Punya Apa-Apa”, “Gerbang Kematian”, dan puisi-puisi dengan aku lirik yang menyiratkan tabungan umur yang sudah berbilang, sarat dengan perenungan, kebijaksanaan, dan pesan-pesan religius.

Kesemuanya berfokus pada pesan agar kita memanfaatkan waktu dengan karya dan kebaikan. Demi masa, jarum jam tak bisa diputar ulang!

Nasihat-nasihat itu secara teks memang ditujukan kepada anak-anak, cucu-cucu, dan cicit-cicitnya, tapi secara kontekstual, gema dan resonansinya sampai pada kesadaran kita.

Baca juga :  Prof.Dr.Faisal Abdullah, S.H.,M.Si., DFM Luncurkan Buku (2): Hak Angket Alarm Ketatanegaraan

badik iman berpamor takwa/ cabut dari hati segera/ bila ada duka musibah (puisi “Badik”, Jakarta, 13 Juli 2010)

biarlah sejarah bercerita untukmu (puisi “Biarlah Sejarah Cerita”, Jakarta, 7 Februari 2011)

seniman/ hanja kiamat sanggup membunuhnja (puisi “Mereka Tertjinta”, Makassar, 13 Djuni 1960)

Dan di abad digital ini, kita bisa menapaki jejak karya Aspar Paturusi lewat berbagai platform digital. Kita bahkan bisa mendengar langsung apa yang disampaikannya dalam buku ini lewat channel YouTube: Aspar Paturusi, dengan men-scan barcode yang terdapat dalam halaman-halaman bukunya.

Beliau termasuk generasi old school yang cepat bertransformasi. Beliau orang yang open minded, bisa menerima hal-hal baru. Beliau tidak menabukan sastra digital, dengan memposting puisi-puisinya di akun Facebook-nya.

Beliau juga tidak menolak genre puisi esai, yang digagas Denny JA. Lewat puisi esai-lah, awal mula kami berkomunikasi. (*)

Makassar, 28 April 2025

1
2
TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

P2TM Gelar Festival Kue Bulan, Lampion Terbang Simbol Harapan dan Persaudaraan

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR — Persaudaraan Peranakan Tionghoa Makassar (P2TM) kembali menunjukkan kekompakan dengan menggelar Lampion Terbang Festival Kue Bulan...

Kerja Keras Tak Pernah Ingkar, Kepemimpinan Andi Amran Sulaiman Menuntun Indonesia Menuju Swasembada Beras

Oleh: MUSLIMIN MAWI Langit pertanian Indonesia tahun 2025 tampak cerah dan penuh harapan. Laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS)...

Putra Mahkota Gowa Meriahkan Akad Nikah Keluarga Besar Karaeng Labakkang

PEDOMANRAKYAT, TAKALAR - Suasana penuh khidmat dan kebahagiaan menyelimuti kediaman keluarga besar Ir. Andi Suryakri dan Andi Sophia...

Lurah Parang Tambung Dorong Budaya Gotong Royong Demi Lingkungan Sehat

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Suasana penuh semangat tampak di Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, Jumat (3/10/2025) pagi. Jajaran staf...