Saya beri contoh, ketika kita melihat gaya hidup orang kaya baru dan memiliki barang baru. Atau bekerja dan berprofesi di tempat baru. Apalagi kalau baru tamat pendidikan atau baru belajar beladiri.
Penampilannya, kadangkala berlebihan.
Namun menurut saya hal itu biasa dan tak aneh karena masih sementara dalam proses.
Yang aneh, tambah saya kepada teman ngobrol, jika mereka atau seseorang tak mampu beradaptasi dengan hal baru dalam kehidupannya. Belum lagi, kalau langsung ‘over acting’ seolah paham sekali dengan profesi barunya.
“Lebih parah, kalau mau seenak ‘udel’nya, tak mau belajar dan ikut aturan main sesuai yang dipersyaratkan”, celoteh saya sambil tersenyum ke teman tadi di salah satu Warkop pinggiran kota Makassar.
Karenanya, cerita saya kepada teman yang bertanya, bahwa setiap saya diberi kesempatan sebagai Ketua Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia di PWI Provinsi Sulsel untuk memberi ‘petuah’ dalam pelatihan wartawan kepada adik-adik yang baru Calon Anggota atau ikut ‘ujian’ kenaikan tingkat jadi Anggota muda maupun Anggota Biasa di PWI, saya selalu menitip :
“Fondasi seorang jurnalis dalam melaksanakan profesinya, minimal harus tahu apa artikulasi kata ‘Wartawan’ dalam bahasa Indonesia”.
Kemudian, jelas saya kepada teman yang serius mendengar, Wartawan wajib tahu Sejarah Pers Nasional dan Hukum Pers serta Praktik Jurnalisme yang etis dan Profesional.
Selain itu, mereka juga harus menyadari bahwa seorang Wartawan harus cerdas dan selalu punya rasa ingin tahu (qyurisity, istilah tokoh Pers alm. Rahman Arge).
Mengapa…? Itu karena, Wartawan, sejatinya adalah seorang Peneliti, Pencari fakta dan Penjaga nalar publik.
“Kalau mereka mengerti tentang ini, maka wawasan seorang yang mengklaim dirinya sebagai Wartawan akan semakin teruji dan terasah dalam melaksanakan tugasnya, mencari, memperoleh, mengolah, memverivikasi informasi dan menulis serta memberitakan kejadian sesuai fakta ke publik di medianya yang sah sesuai ketentuan Dewan Pers”, kunci saya menutup pembicaraan sambil nikmati seduhan kopi tanpa gula. Pahit toh. Itu saja. (***)