“Dalam ragam beberapa model tawaran pembelajaran kepada pemerintah dan instansi terkait, pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah gagasan ideal,” ungkap Ali Syahban. “Masyarakat adat harus didokumentasikan, diolahmatangkan ke dalam media dan sumber belajar di persekolahan. Konservasi tentang etnik kedaerahan pun sudah harus dilakukan, karena identitas bangsa atau penciri keindonesian,” urainya lagi.
Presentasi penelitian Ali mendapat perhatian serius dari peserta konferensi yang berasal dari 14 negara, yakni USA, Jepang, Korea Selatan, Australia, Taiwan, Malaysia, Hawaii, India, Taiwan, Hongkong, China, Turki, Singapore dan Indonesia. Ketertari-kan peserta tertuju pada gagasan mengem-balikan pengetahuan tradisional sebagai warisan budaya, yang tidak bisa begitu saja dipinggirkan di era digital sekarang.
“Forum internasional konferensi seperti ini sangat dibutuhkan oleh dosen untuk mengait jejaring global,” kata Ali Syahban yang kini sedang merampungkan program doktoralnya di UNM.
“Kita semua sarat akan nilai-nilai tradisi, olehnya saya memilih mengangkat kajian tradisional ke dalam pendidikan. Itulah ciri khas kita. INTI harus dikenal dimana-mana. Dengan ciri khas, INTI bisa tampil unik di mata dunia. INTI akan tumbuh berkembang dengan gayanya sendiri,” pungkas Ali Syahban Amir. [ab]