Pasal 25 ayat (2) memperluas jenis alatk bukti termasuk hasil visum, rekam medis, bukti digital (chat, video), serta hasil pendampingan psikologis.
Pasal 30, mewajibkan aparat penegak hukum memberi perlindungan dan pendampingan terhadap korban sejak awal proses hukum.
2. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23/2002) :
Pasal 64A, menyatakan anak korban berhak atas perlindungan khusus, termasuk rehabilitasi medis dan sosial, serta pendampingan psikologis.
3. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban :
Pasal 5 dan 10A, memberikan hak kepada korban untuk mendapatkan perlindungan fisik, psikologis, hukum, dan sosial, serta jaminan proses hukum yang adil.
4. KUHAP Pasal 184, menyebutkan bahwa alat bukti sah meliputi Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat (misalnya hasil visum), Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.
UU TPKS kemudian menambahkan bukti digital dan hasil psikologis sebagai alat bukti tambahan yang sah.
Dengan melihat fakta bahwa ibu korban menyaksikan langsung tindakan pelaku, adanya bukti medis dari rumah sakit, dan kondisi psikologis korban yang terganggu, maka secara hukum, unsur pembuktian awal telah terpenuhi dan penyidikan seharusnya bisa segera ditingkatkan ke tahap lebih lanjut.
Kasus ini menyoroti bagaimana lambatnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, bahkan ketika bukti awal telah tersedia. Korban berisiko mengalami trauma jangka panjang apabila tidak segera mendapat pendampingan, perlindungan, dan keadilan.
Koordinasi antara penyidik, lembaga layanan korban, serta dukungan masyarakat sipil menjadi kunci untuk memastikan setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual mendapat keadilan yang layak dan pemulihan yang utuh. (Restu)