Selain itu, terdapat juga surat dari Kantor Iuran Pembangunan Daerah tahun 1974 yang menyatakan Abu sebagai pembayar pajak pertama sejak pengukuran tanah dilakukan pada masa kolonial, tahun 1940. Tanda bukti pembayaran Ipeda tahun 1979 juga turut diajukan sebagai penguat.
Dalam petitumnya, penggugat meminta pengadilan menyatakan seluruh dokumen yang dimiliki tergugat, dalam hal ini pihak Lapas atau siapa pun yang mendapat hak atas lahan itu, sebagai tidak sah dan tak memiliki kekuatan hukum. Mereka menuntut agar lahan segera dikosongkan dan dikembalikan kepada keluarga Abu Sele.
Tak hanya itu, penggugat juga menuntut uang paksa (dwangsom) sebesar satu juta rupiah per hari apabila pihak tergugat tidak segera melaksanakan amar putusan setelah berkekuatan hukum tetap.
Menurut mereka, tanah ini memiliki nilai historis dan ekonomis yang tinggi. “Kami hanya ingin keadilan. Kalau memang milik negara, tunjukkan dasarnya. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada,” ucap Umar Dg Sila salah satu ahli waris.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Lapas Kelas IA Makassar. Media ini pun berupaya menghubungi pejabat terkait namun belum mendapatkan respons.
Sengketa tanah di kawasan strategis seperti Sultan Alauddin bukan cerita baru di Makassar. Pesatnya perkembangan kota dalam dua dekade terakhir menjadikan banyak lahan tua, terutama yang dahulu tidak didaftarkan secara formal, sebagai objek perebutan. Ketiadaan data kepemilikan yang tertib kerap kali membuka celah konflik.
Jika benar terbukti lahan tersebut milik pribadi yang selama ini dikuasai negara tanpa dasar hukum, maka perkara ini bisa menjadi preseden penting dalam pengelolaan aset publik. Adapun Persidangan dijadwalkan digelar dalam waktu dekat. (Hdr)