Sesuai hari, tanggal, dan waktu yang disebutkan, wawancara itu pun diudarakan RRI Nusantara IV Ujungpandang.
Sejak pertemuan itu, saya sangat ingat Pak Dahlan Abubakar. Bukan cuma berkacamata, dengan kemeja rapi yang selalu dimasukkan ke celana panjangnya. Namun juga tustel dan tas yang tersampir di bahunya. Dalam tas itulah, perkakasnya sebagai wartawan disimpan: tape recorder, pulpen, dan notebook.
Setelah saya menjadi reporter Radio Bharata FM, antara 1996-2000. Beberapa kali saya bertemu beliau. Apalagi kalau liputan PSM, terutama menjelang pertandingan. Antara lain di Mappanyukki, ketika jumpa pers, saat duo Ande Abdul Latif jadi Penanggung Jawab dan La Tinro La Tunrung jadi Manajer Tim PSM, atau di Stadion Matoanging, kala pasukan Ramang itu tengah berlatih jelang pertandingan.
Dari pertemuan saat meliput itu, saya kemudian mengetahui bahwa beliau wartawan Pedoman Rakyat (PR). Bahkan, menurut saya, beliau sangat identik sebagai wartawan dari koran perjuangan yang penuh sejarah itu.
Sesekali, suara beliau saya dengar tengah memberikan laporan pandangan mata untuk RRI. Itu bila beliau melakukan reportase atau report on the spot (ROS) untuk radio penyiaran publik tersebut.
Lelaki asal Kanca, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini memang sangat sigap. Naluri jurnalistiknya tajam. Beliau peka pada peristiwa, pernyataan, diskusi, dan obrolan yang punya nilai berita, dan nilai sejarah.
Beliau merekam dan mencatat, sebagai dokumen, sebagai arsip, sebagai sumber data primer. Ini kekayaan seorang wartawan dan penulis. Beliau memang seorang wartawan intelektual. Gelar akademik Doktor di depan namanya menunjukkan kapasitas dirinya.
Beliau, saya yakin, sadar betul arti catatan-catatan, rekaman-rekaman, dan foto-foto hasil jepretannya. Karena itu, jangan heran, apabila ada tokoh yang wafat, beliau dengan cepat akan menulis in memoriam atau obituari tokoh tersebut.
Rosihan Anwar menulis “Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia” dan “Kronik Indonesia 1945-1995”, juga banyak merujuk pada keuletan wartawan kawakan itu mencatat peristiwa-peristiwa sejarah.
Begitupun dengan Pramoedya Ananta Toer. Penulis tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) ini, menjadikan dokumentasi dan kliping sebagai referensi dan sumber inspirasinya. Dari sana proses kreatif dan imajinasi menulisnya dilakukan.
Dahlan Abubakar, yang bukan hanya menulis sepintas berupa berita–tapi juga mendalam dalam bentuk buku–dibaluti spirit yang sama. Beliau punya bank data, dan informasi dari tangan pertama.
Sebagai wartawan yang tumbuh dari kampus, menjalani profesi di media ternama, dan kemudian menjabat sebagai Humas dari kampus besar, membuat Dahlan Abubakar punya jejaring dan akses ke banyak pihak. Rektor, walikota, gubernur, menteri, pengusaha, olahragawan, dan berbagai profesi lain.
Beliau tak berhenti hanya sekadar melaporkan dan menulis berita. Namun, semua catatan dan tulisan-tulisan yang dipunya itu diolah dan dikembangkan lagi dalam wujud buku. Dari keseluruhan proses itu, saya dapat pastikan bahwa Dahlan Abubakar merupakan sejatinya wartawan intelektual.
Lihat saja buku-buku yang ditulisnya. Selalu punya ketebalan yang mengindikasikan riset dan lamanya pengumpulan bahan tulisan. Hanya orang yang punya energi berlipat dengan dedikasi kuat pada profesinya, yang menghasilkan karya-karya seperti Dahlan Abubakar. (*)