Oleh: Ahmad Amanullah (Mahasiswa Politeknik Kesehatan)
KETERTARIKAN saya pada seni sastra membuat saya berjalan jauh menyusuri makna dan cara menulis dan memahami sebuah tulisan. Berbeda dengan mereka yang terdahulu, yang berkenalan dengan karya sastra milik Pramoedya Ananta Toer, atau bahkan Multatuli. Diri ini lebih dulu bertemu dan dihidupkan dengan karya sastra seperti puisi-puisi WS Rendra, novel milik Mas Jazuli Iman dan Leila S Chudori.
Minggu, 15 Juni 2025, ini saya mengikuti Workshop Menarasikan Seni Rupa Melalui Penulisan Kreatif di Institut Kesenian Makassar (IKM). Workshop yang merupakan pra event Pameran Revolusi Esok Pagi (REP) #6 ini menjadi sebuah tempat saya singgah sejenak, belajar dan berbagi. Apalagi workshop ini diadakan secara gratis, semacam mencuri ilmu di Imperium Yunani.
Menjejakkan kaki di ruangan ini, kembali saya merefleksikan diri, kenapa dan apa yang saya lakukan di sini? Toh saya seorang mahasiswa kesehatan yang memulai mencoba seni sastra, penulisan, dan juga membaca. Hanya saja, dibenturkan oleh disiplin ilmu yang berbeda.
Namun kenapa tidak? Apa salahnya multidisipliner? Apa salahnya mempunyai idealisme?
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh kaum muda,” kata Tan Malaka.
Maysir Yulanwar yang membawakan materi pertama, beliau adalah seorang fotografer, penulis, designer grafis buku dan majalah. Menjelaskan bagaimana cara menuliskan berita dengan kreatif, semacam memasak isu atau kejadian terkini dengan bumbu sastra dan campuran sedikit metafora secara subjektif tanpa merusak moral dan etika penulisan.
“Meningkatkan kualitas tulisan, menghidupi tulisan, tanpa mengabaikan etika jurnalistik: faktual, aktual, kredibel, independen, dan memihak kepada masyarakat,” papar Maysir Yulanwar.