“Dengan menelaah ketiga bentuk pembacaan La Galigo tersebut kita dapat melihat bagaimana bidang ilmu Kajian Sastra dan Budaya memberi ruang bagi reinterpretasi teks klasik melalui berbagai perspektif dan pendekatan yang relevan dengan konteks kekinian,” ujar Direktur Hubungan Alumni Unhas (2022-2025) tersebut.
Andi M. Akhmar yang meraih Sarjana (S-1) di Unhas tahun 1994 itu mengatakan, bagi masyarakat adat To-Cerekang, La Galigo merupakan pengetahuan turun temurun yang mengatur hubungan antara manusia, leluhur, makhlus halus, dan alam. Di sepanjang bentangan Sungai Cerekang, tempat hutan masih hijau dan sungai masih terjaga. La Galigo menjadi sumber legitimasi kosmologis sekaligus kultural dalam menjaga situs-situs suci mereka.
“Hutan adat Pengsimoni, Padang Ennungnge, Beroe, Mangkutta, Tomba, Ujung Tanae, Kasosoe, Lengkong, Aggatungeng, Anceqe, dan “Turungeng Appancang-engenge”, diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh leluhur dan makhluk gaib,” Andi Akhmar mengungkapkan kembali penelitiannya tahun 2023, kemudian menambahkan wilayah tersebut tidak boleh ditebang, dirusak, dan dieksploitasi sembarangan, sebab di sanalah warisan dunia La Galigo menjelma dalam pohon, air, tanah, dan ritus. Praktik ini mencerminkan relasi spiritual antara manusia dan alam yang dalam wacana akademik kontemporer disebut “epistemologi more-than human”.
Dalam cara pandang masyarakat adat To-Cerekang, La Galigo menjadi perangkat naratif yang hidup. Ia hadir dalam upacara adat, dalam jampi-jampi, dalam cerita pengantar tidur, bahkan dalam perilaku keseharian. Kepercayaan terhadap warisan ini merupakan praktik terus-menerus yang meyakini bahwa dunia tidak dibentuk oleh manusia semata. La Galigo dalam konteks ini menghidupkan sistem pengetahuan lokal yang melibatkan pohon yang tidak boleh ditebang dan air yang leluhur bersemayam.
Andi M.Akhmar mengatakan, salah satu kekuatan visual I La Galigo adalah kemampuannya mentransformasi struktur kosmologis tiga dunia (atas, tengah, bawah) dalam mitos Bugis ke dalam visual panggung. Dunia atas direpresentasikan dengan set menggantung dan cahaya putih menyilaukan, dunia tengah dengan interaksi antarmanusia, dan dunia bawah dengan kabut, kain biru, dan atmesfer kelam.
“Representasi ini membangun kembali suasana spiritual dan kosmologis masyarakat Bugis dalam bahasa simnbolik yang dapat ditangkap oleh penonton internasional,” ujar lulusan S-2 (1998) dan S-3 (2012) UGM pernah menjabat Wakil Dekan FIB 2014 s/d 2021 tersebut. (mda)