Prof. Mardi Adi Armin mengatakan, bahasa yang dimiliki manusia begitu tinggi kedudukannya, mulai dari posisi yang sifatnya profan (tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan, lawan sakral) sebagai alat komunikasi biasa dengan sesamanya, sampai pada kedudukan yang sakral sebagai sarana penghubung yang sifatnya transendental untuk membesarkan dan menyucikan sesembahannya.
“Bahasa kaum paganisme (kepercayaan atau praktik spiritual terhadap berhala) dan monoteisme banyak mempraktikkan ragam bahasa yang terakhir ini,” kata lulusan S-1 Sastra Prancis Fakultas Sastra Unhas tersebut.
Lulusan Program Ilmu Filsafat S-2 UI-Prancis dan S-3 Bidang Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar itu mengemukakan, neopragmatisme yang menjadi bagian tema orasi ini, bergerak di antara dua kecenderungan kuat, yaitu di satu sisi berusaha usaha untuk menjelaskan wilayah kebudayaan sejajar dengan epistemologi ilmu alam, dan di sisi yang lain, suatu ikhtiar untuk mengantar paradigma ilmu alam paralel dengan epistemologo seni dan karya artistik. Dalam perkembangan kemudian, filsafat tidak dapat terhindar dari kekuatan tarik menarik yang membawanya condong ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah sastra (sains analitik) bahwa sains yang ketat dalam metode dan konstruksi sesungguhnya hanya persoalan cara berbahasa.
“Sains hanya persoalan selera saja (problem of taste). Sementara wilayah lain adalah pengertian yang lebih ketat bahwa sains bersifat metodis, objektif, dan taat asas,” kata Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FIB yang merupakan Profesor ke-587 Unhas. (mda)