PEDOMANRAKYAT, GOWA – Sejumlah ahli hukum, akademisi, dan pejabat negara berkumpul di Auditorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Selasa, 17 Juni 2025.
Mereka bukan sekadar datang untuk berbicara, tetapi membawa satu wacana besar yang kini tengah mendesak di tubuh sistem peradilan pidana Indonesia yaitu revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Seminar Legislatif Nasional bertema “Revisi RUU KUHAP : Sebuah Urgensi Nasional dalam Mewujudkan Keadilan” itu menjadi ruang diskusi terbuka yang mengulas celah, tantangan, dan prospek KUHAP yang sudah berusia lebih dari empat dekade. Dari ruang akademik, desakan terhadap pembaruan hukum pidana formal itu kembali bergema.
“Bayangkan, sejak 1981 hingga kini belum pernah dilakukan revisi menyeluruh. Padahal hukum yang baik adalah hukum yang mampu mengikuti perkembangan zaman,” ujar Muh Amiruddin, akademisi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin yang juga menjadi salah satu pembicara.
Ia pun menekankan pentingnya jaminan kebebasan warga negara saat berhadapan dengan hukum, khususnya dalam memberikan keterangan tanpa tekanan dari aparat penegak hukum.
Sorotan lain datang dari Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Soetarmi, S.H., M.H., yang menekankan pentingnya peran jaksa dalam pendekatan restorative justice.
Menurutnya, revisi KUHAP harus memuat penguatan posisi jaksa sebagai pengendali perkara, bukan sekadar pelaksana hukum acara.
“Restorative justice bukan sekadar jalan pintas penyelesaian kasus. Ini adalah cara baru negara menghadirkan keadilan yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat,” kata Soetarmi.
Pendekatan restoratif juga menjadi bahasan utama Dr. Heriyanto dari Bidkum Polda Sulsel. Ia mengutip pemikiran Howard Zehr, tokoh penting dalam pemikiran keadilan restoratif.