PEDOMANRAKYAT, PALOPO – Gunung Latimojong di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, selama ini dikenal sebagai lanskap yang tenang.
Hutan hujan tropis menyelimutinya, sungai-sungai mengalir dari tubuhnya, dan masyarakat hidup dalam ritme alam yang nyaris tak berubah.
Namun, dalam dua tahun terakhir, ketenangan itu terusik. Suara dentuman asing begitu keras, tiba-tiba, dan berulang, kini menjadi bagian dari keseharian sebagian warga.
Dentuman itu datang dari perut bumi, dari aktivitas peledakan tambang emas milik PT Masmindo Dwi Area.
Peledakan itu memang disebut legal. Perusahaan menyatakan aktivitas dilakukan dengan terukur dan mengacu pada standar keselamatan kerja.
Namun bagi sebagian warga, hal itu tidak serta merta membuat mereka merasa aman. Getaran dirasakan, suara dentuman mengganggu malam, dan ketakutan akan longsor atau retakan rumah mulai tumbuh diam-diam.
“Kami dengar dentumannya sampai ke kebun,” kata Saldi, seorang warga di lereng Latimojong. “Kadang tanah terasa goyang, ” ucapnya.
Achmad Yusran, Ketua Forum Komunitas Hijau, menyebut situasi ini sebagai pertarungan antara narasi teknis dan realitas sosial-ekologis.
Menurutnya, perusahaan tambang memang selalu membawa standar, regulasi, dan sosialisasi dalam setiap presentasinya.
Tapi di lapangan, tutur Yusran, warga lebih percaya pada apa yang mereka dengar, mereka rasa, dan mereka alami.
“Pertanyaannya sederhana, standar keselamatan siapa, dan untuk siapa ?,” kata Yusran dalam diskusi terbuka di Palopo, Selasa, 24 Juni 2025.
Yusran tak sedang bicara tanpa dasar. Latimojong bukan sekadar gunung, tapi hulu dari Daerah Aliran Sungai Rongkong-Walanae yang menyuplai air ke wilayah pesisir dan pertanian di sekitarnya.
Struktur geomorfologinya rapuh. Wilayah ini masuk kategori rawan longsor dan bencana ekologi.
Ketika kawasan hulu dibuka untuk pertambangan, sebut Yusran, vegetasi dirusak, dan peledakan dilakukan secara rutin, daya tampung air turun drastis.