Oleh Ade Cahyadi (Alumni S2 Ilmu Tata Negara Universitas 45)
Seratus hari pemerintahan seharusnya menjadi titik tolak, bukan titik tanya. Tapi di Parepare, publik masih menyusun ingatan akan janji—bukan karena sudah ditepati, melainkan karena takut terlupakan.
Janji seragam gratis, beasiswa, posyandu digital, creative hub, hingga reformasi layanan publik, masih banyak yang belum bergerak dari halaman manifesto ke ruang implementasi. “Kami masih menunggu, tapi yang terlihat baru seremoni,” ucap Andi, seorang pegiat komunitas kreatif, menggambarkan kejenuhan yang perlahan berubah menjadi skeptisisme.
Wakil Ketua DPRD, Yusuf Lapanna, juga menyampaikan kritik yang senada. Ia menilai program-program yang digadang belum menyentuh substansi, dan ruang publik terlalu lama diisi oleh aktivitas simbolik. Parepare, katanya, tidak butuh parade, tapi progres.
Namun ada dinamika yang lebih sunyi, lebih berbahaya: pembungkaman kritik melalui tekanan terhadap media lokal.
Beberapa jurnalis dan pengelola media mengaku mendapat tekanan dari individu yang mengaku bagian dari tim TSM-MO.
Tekanannya tidak selalu frontal, tapi terasa sistemik. Dari imbauan “jangan terlalu keras” perintah kepada redaktur, permintaan revisi pada tajuk kritis, hingga peringatan tidak langsung bahwa kerja sama publikasi dengan pemerintah bisa diputus jika narasi tidak “sejalan”.