Pemeriksaan ini turut didasari informasi dari Menteri Amran.
Wilmar Group diperiksa terkait produk Sania, Sovia, dan Fortune. Sampel diambil dari berbagai daerah, seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Jabodetabek.
PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) diperiksa terkait merek Alfamidi Setra Pulen, Beras Premium Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Ramos Premium, Setra Pulen, dan Setra Ramos. Sampel dikumpulkan dari Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat.
PT Belitang Panen Raya (BPR) diperiksa terkait produk Raja Platinum dan Raja Ultima, setelah pengambilan sampel dari Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Aceh, dan Jabodetabek.
Sementara PT Sentosa Utama Lestari/Japfa Group (SUL/JG) diperiksa setelah penyidik mengambil tiga sampel dari Yogyakarta dan Jabodetabek.
Hingga berita ini dipublikasikan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Wilmar terkait isu ini. Upaya konfirmasi yang dilakukan Inilah.com kepada Asisten Manager Public Relations PT Wilmar Nabati Indonesia, Alina Musta’idah, yang belum mendapatkan respons.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran telah melaporkan 212 produsen beras yang diduga melakukan praktik pengoplosan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung.
Laporan ini merupakan hasil investigasi terhadap 268 merek beras bersama sejumlah pemangku kepentingan.
“Temuan ini telah dilaporkan secara resmi ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti,” kata Amran di Jakarta, Jumat (27/6/2025) lalu.
Dari hasil pemeriksaan 13 laboratorium di 10 provinsi, ditemukan 85,56 persen beras premium tidak sesuai mutu, 59,78 persen dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21 persen tidak sesuai berat kemasan.
“Ini sangat merugikan masyarakat,” tegas Amran.
Ia menambahkan, anomali harga beras saat ini terjadi ketika produksi nasional justru meningkat.
Data FAO menunjukkan produksi beras Indonesia diperkirakan mencapai 35,6 juta ton pada 2025/2026, melampaui target nasional sebesar 32 juta ton.
Amran memperkirakan potensi kerugian konsumen akibat praktik curang ini mencapai Rp99 triliun.
“Kalau dulu harga naik karena stok sedikit, sekarang tidak ada alasan. Produksi tinggi, stok melimpah, tapi harga tetap tinggi. Ini indikasi adanya penyimpangan,” ujarnya. (*)