Di ujung pemaparannya, Soetarmi menyoroti UUD 1945 sebagai Pilar keempat yang menjamin perlindungan hak siswa atas pendidikan yang aman, inklusif, dan sehat.
Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai amanat konstitusi yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun yang paling menyita perhatian siswa adalah saat sesi beralih pada bahaya kekerasan di sekolah. Soetarmi tidak hanya menjelaskan jenis-jenis kekerasan, fisik, psikis, seksual, dan siber, tapi juga menyebut pasal-pasal hukum yang mengancam pelakunya.
Mulai dari Pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 170 KUHP (pengeroyokan), hingga Pasal 28 UU ITE yang mengatur penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Menurutnya, kekerasan di sekolah kerap dibiarkan tumbuh karena dianggap sebagai lelucon.
“Kalimat ‘cuma bercanda’ itu sering kali menjadi topeng kekerasan,” tegas Soetarmi.
Ia juga menyinggung, banyak korban enggan bicara karena takut, dan pelaku merasa bebas karena tak mendapat sanksi.
Di akhir sesi, seorang siswa bertanya, “Apa yang harus dilakukan kalau melihat teman dibully?” Soetarmi menjawab lugas, “Laporkan. Diam bukan pilihan. Menolong korban adalah bentuk nyata nilai Pancasila.”
Program Jaksa Masuk Sekolah bukan sekadar penyuluhan rutin. Ia menjadi ruang bagi siswa untuk memahami hukum bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai pelindung.
Dalam wajah-wajah siswa SMK Negeri 1 Makassar pagi itu, tersirat sebuah harapan, generasi muda yang memahami hukum dan nilai kebangsaan akan menjadi benteng paling kokoh melawan kekerasan, Kasi Penkum Kejati Sulsel Soetarmi menandaskan. (Hdr)