Simbol bajak laut dalam One Piece bukanlah sembarang lambang. Ia mewakili perlawanan terhadap otoritas yang korup, perjuangan melawan ketidakadilan dan solidaritas dalam kebebasan., dan mimpi tentang dunia yang lebih adil—tema-tema yang ironisnya makin sulit ditemukan dalam kehidupan kenegaraan kita. Ketika simbol fiksi lebih mewakili aspirasi dan emosi publik ketimbang simbol negara, maka yang harus dipertanyakan bukan hanya siapa yang mengibarkan, tetapi kenapa itu terjadi ???
Perlu diingat, generasi muda saat ini lahir dalam era digital yang sarat dengan narasi global, nilai baru, dan bentuk ekspresi yang cair. Mereka tidak lagi tunduk pada narasi tunggal nasionalisme, apalagi jika narasi itu terasa normatif, kosong, atau hanya dipakai sebagai pembungkus kekuasaan. Nasionalisme bukan soal upacara dan pidato semata, tetapi soal keadilan yang dirasakan dan harapan yang dihidupi.
Dalam studi komunikasi kontemporer, ada istilah resistance through symbols—perlawanan yang dilakukan bukan melalui senjata atau demonstrasi, tetapi lewat simbol, meme, dan bahasa visual. Apa yang kita lihat dalam kasus ini adalah sinyal ketidakpuasan, ekspresi jenuh, dan kritik yang terselubung namun kuat. Sayangnya, pemerintah dan sebagian elit memilih menindaknya secara formalistik, bukan membacanya sebagai sinyal sosial yang harus ditanggapi secara reflektif.
Penutup
Kemerdekaan tidak cukup dirayakan dengan seragam dan spanduk. Ia harus terasa dalam keadilan hukum, kebebasan berekspresi, dan pengakuan atas suara yang beragam. Mengibarkan bendera One Piece mungkin salah secara aturan, tapi bila kita hanya sibuk menghukum tanpa mendengar jeritannya, jangan salahkan generasi muda jika kelak yang mereka kibarkan bukan lagi simbol fiksi—tetapi perlawanan yang nyata.