Berita terbakarnya KM Tampomas II pertama dikirim oleh markonis KM Sangihe yang berlayar dan memuat barang dari Ujungpandang ke Surabaya saat melihat asap tebal di tengah laut. Mualim 1 KM Sangihe J.Bilalu melalui teropong melihat asap mengepul di arah barat. Mualim 1 pun memanggil Kapten Sangihe Agus K.Sumirat.
“Hebat, Pertamina dapat sumur minyak baru lagi,” seru Bilalu kepada Sumirat.
Satu jam kemudian, Bilalu kembali mengeker. Tampak asap tebal kian mendekat. Melalui teropong di area yang berasap terpampang pada lambung, KM Tampomas II. Markonis kapal segera menghidupkan radio kapal, Menghubungi radio Jakarta, memberi tahukan Tampomas II terbakar. Pukul 08.15, KM Sangihe mengirim sinyal “save our soul” (SOS) — selamatkan jiwa kami — dengan harapan seluruh kapal dan stasiun radio pantai menangkap pesan darurat itu.
Kiriman sinyal SOS KM Sangihe ini menjadi sumber awal beredarnya informasi terbakarnya kapal di posisi 150 km di arah timur Pulau Masalembo. Panda Nababan sedang nongkrong di kantor redaksi “Sinar Harapan” (SH) ketika berita itu tersebar. Dia mengontak J.E.Habibie — adik B.J.Habibie — yang akrab disapa Fanny.
“Fanny, apa yang terjadi,” satu pertanyaan pendek meluncur dari Panda melalui telepon.
“Hei, Pan, sory, gue lagi sibuk. Lu datang saja ke kantor nanti sore,” jawab Fanny yang ketika itu menjabat Dirjen Perhubungan Laut.
Di redaksi SH langsung menggelar rapat kilat. Tim khusus dibentuk. Semua reporter yang bertugas di instansi yang ada kaitan dengan terbakarnya Tampomas II dikerahkan. Dari Jakarta SH menerbangkan satu wartawan ke Ujungpandang. Panda sendiri meluncur ke kantor Fanny. Dia sempat menunggu, saat tuan rumah sedang menelepon. Pas Fanny meletakkan gagang telepon, Panda menerobos masuk ke kantornya. Dia langsung mencecarnya dengan pertanyaan.
“Waduh, Pan, nggak bisa sekarang wawancaranya. Lu nggak lihat saya lagi sibuk. Sore ini gue disuruh menghadap Presiden,” tangkis Fanny, kemudian menawarkan;” Kalau mau, lu ikut aja di mobil. Tapi nanti turun di jalan. Oke”.
Menjelang pukul 19.00 Fanny keluar dengan membawa beberapa map biru. Sembari menerobos kerumunan wartawan yang sudah ‘menyemut’ Fanny segera menuju mobil. Panda terus memepet dia.
“Sudah, kau ikut aku,” kata Fanny sambil memegang kemudi mobil.
“Pegang dulu ini,” sambungnya lagi lalu menyerahkan setumpuk map biru kepada Panda.
Dia konsentrasi mengemudi mobil. Tatapan matanya ke depan. Kesempatan itu dimanfaatkan Panda diam-diam membuka isi map. Dia terkejut. Ada beberapa laporan di map itu. Ada untuk Presiden, Panglima ABRI, dan juga untuk Menteri Perhubungan. Kenakalan Panda pun muncul. Lembaran untuk Menteri Perthubungan, dia tarik dari map. Dia melipatnya dan memasukkannya ke dalam baju di tengah Fanny mengemudi mobil dengen penuh konsentrasi dalam kecepatan relatif tinggi.
Tiba di Jl. Cendana, Panda turun untuk menunggu mobil redaksi SH yang datang menjemput. Dia melihat Fanny tergopoh-gopoh keluar dari rumah Soeharto dan menuju mobilnya. Agaknya mencari sesuatu yang tertinggal. Dibantu petugas Pampres menggunakan senter menyorot tempat duduk keduanya.
“Apakah lu lihat kertas yang jatuh. Isi map satu kosong. Tidak ada isinya,” kata Fanny.
“Mana tahu saya? Jangan-jangan sekretaris Anda lupa meletakkannya,” sahut Panda yang tahu barang nan dicari itu ada di balik bajunya.
Fanny terlihat panik. Dengan terlihat putus asa karena apa yang dicarinya tidak ada, dia kembali masuk ke kediaman Soeharto.
Panda berjalan kaki beberapa ratus meter untuk mencari taksi karena mobil redaksi tak kunjung muncul. Di atas taksi saat lampu jalan terang benderang, dia mencabut kertas dari balik bajunya. Dia terperangah. Laporan di tangannya bersifat rahasia. Tapi sangat penting diketahui oleh masyarakat.
Selang beberapa jam kemudian, Fanny menelepon,
“Gila lu, Pan, ‘ngerjain’ gue. Itu berkas yang mau gue kasih ke Presiden dan Menteri, malah lu tilep. Cepat kembalikan,” kata Fanny marah-marah.
“Tenang, Fan, sekarang juga gue ‘balikin’,” tangkis Panda dan gara-gara penilepan berkas Tampomas II ini hubungan keduanya sempat merenggang. Dari berkas itulah SH unggul dalam pemberitaan awal terbakarnya Tampomas II.
(Saya sempat mewawancarai Nakhoda KM Tampomas II Capt. Rivai bersama almarhumah Kak Zohra Andi Baso di kamarnya dalam pelayaran Ujungpandang-Jakarta, November 1980. Saat saya minta foto bertiga usai mencicipi ‘pisang epek’ yang disajikan kepada kami, Capt. Rivai menolak. Mungkin tak enak dengan kami, akhirnya dilayaninya. Dia duduk di tengah di sofa kamarnya. Kisah wawancara disertai foto kami bertiga ini, saya muat di “Pedoman Rakyat” setelah KM Tampomas II tenggelam dan sekembali dari mengikuti Porseni Mahasiswa di Manado, 31 Januari 1981).
Pembajakan Woyla
Panda Nababan sempat tidak percaya tentang pembajakan pesawat Garuda Woyla ini. Soalnya, sumbernya dari Steve Rompas, yang wartawan olahraga. Mak Karundeng, Wapemred SH pun menjelaskan kronologisnya. Kata dia, Steve Rompas sedang mengikuti rapat pengurus karate yang juga dihadiri Leo Lopulisa, Pangkostrad kala itu dan Soegiri, Dirjen Perhubungan Udara.
“Ada pembajakan pesawat,” bisik Soegiri kepada Leo Lopulisa saat pamit dan Steve Rompas sempat mendengarnya. Panda pun percaya. Ini A-1, kualifikasi sangat dapat dipercaya.
Satu tim yang terdiri atas reporter yang bertugas pada instansi terkait, seperti di kantor Garuda, Hankam, Kopkamtib, dan Kepolisian, dikerahkan untuk mengendus informasi. Seluruh reporter melaporkan, hasilnya nol. Tidak ada informasi mengenai pembajakan itu. Semua informasi tertutup.
Panda yang berpengalaman membongkar manipulasi di Bandara Halim Perdanakusumah tidak kehabisan akal. Di bandara ini ada menara pengatur lalu lintas perhubungan udara, Jakarta Tower. Nomor teleponnya dengan mudah dia dapat.
“Halo, di sini Kolonel Sofyan dari Satgas Intel Kopkamtib. Catat nomor telepon saya. Ini nomornya,” kata Panda sambil menyebut nomor telepon di Markas Kopkamtib di Jalan Medan Merdeka Barat.
“Siapa yang bertugas di situ? Saya ingin tahu informasi perkembangan pesawat yang dibajak. Posisi pesawat sekarang di mana?,” seru Panda dari balik telepon dan petugas menara yang mendengar kata-kata Satgas Intel Kopkamtib tak lagi tanya dan langsung memberikan informasi perkembangan peristiwa pembajakan itu.
Dalam wawancara melalui telepon selama 15 menit, Panda Nababan sudah memperoleh informasi lengkap mengenai pembajakan itu.
Begitu ampuh menjual nama Satgas Intel Kopkamtib dengan menyebut nama sang kolonel tadi yang dia pungut tiba-tiba saja. Dia tidak tahu apakah nama itu ada di Satgas Intel Kopkamtib atau tidak. Yang jelas, dia yakin mustahil petugas menara akan menanyakannya ke sana.
Begitu usai menelepon dari kantor, Panda melihat suasana redaksi mencekam. Teman-temannya merubung Panda saat menelepon atas nama Kolonel Sofyan. Setelah gagang telepon diturup, dia berteriak keras.
“Headline sudah dapat!!!”.
Takut ada telepon dari Pusat Penerangan ABRI atau Kopkamtib yang melarang berita pembajakan tersebut — yang sudah biasa terjadi di era Orde Baru — redaksi minta pemimpin redaksi termasuk redaktur halaman, segera meninggalkan kantor. Kalau ada telepon, jawabannya sederhana.
“Di kantor tinggal tukang sapu dan penjaga kantor dan mengaku tidak tahu soal berita,” tulis Panda Nababan pada halaman 231 bukunya yang berjudul “Jurnalisme Investigatif Panda Nababan MENEMBUS FAKTA, Autobiografi 30 Tahun Seorang Wartawan”. (Makassar, 10 Agustus 2025).