PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Masih kisah dari buku H.M.Saleh Kamah (MSK). Cerita ini berupa penderitaan MSK atas tindakan kekerasan yang dilakukan oknum tentara di Sulawesi Utara ketika dia masih wartawan muda. Melengkapi pengetahuan jurnalistiknya waktu itu, MSK harus banyak berkonsultasi dengan Makassar dan Jakarta.
Suatu hari, MSK tidak menyebutkan waktu kejadiannya, dijemput Alex Moeri, pria kelahiran Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjabat Kepala Stasion Radi Republik Indonesia (RRI) Manado. Agendanya. ke Amurang dan Bitung.
“Ada berita bagus di sana,” Alex Moeri memberi tahu MSK yang menjemputnya menggunakan jip tua warna merah.
Sasaran pertama, Amurang, 60 km di selatan Kota Manado. Sebuah kapal asing, Rosela Bridge, sedang memuat kopra. Informasi yang diperoleh, kopra itu milik PT Indora, perusahaan yang dipimpin Laurens Saerang. Dia putra Minahasa kelahiran Langoan 1920-an. Pada tahun 1957 dia menjabat Bupati Minahasa, kemudian bergabung dengan kelompok Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) dengan konsentrasi di tanah kelahirannya, Langoan.
Di Bitung, keduanya memperoleh informasi, kopra yang dimuat di pelabuhan juga milik PT Indora. Di balik itu, beberapa petunjuk mengindikasikan, pelaksanaannya (penjualan) melalui sistem barter dengan melanggar ketentuan-ketentuan umum yang berlaku waktu itu. Pada waktu Permesta, banyak ekspor komoditas dari Indonesia dibarter dengan senjata untuk kepentingan perjuangan.
MSK segera mengirim berita ke Jakarta yang kemudian dikutip oleh beberapa harian di Jakarta, Maksssar, Surabaya, dan lain-lain. Mayor Hein Victor (HV) Worang, Komandan Infantri 24 (RI-24) yang saat berita tayang berada di Jakarta, segera terbang ke Manado. Dua jam setibanya di Manado, dia langsung menggelar jumpa pers di Tikala Manado, kediamannya. Beberapa wartawan hadir. Worang yang didampingi beberapa perwira, antara lain dari bagian satu (intelijen) membantah keras berita tersebut. Tidak benar ekspor kopra itu melanggar ketentuan-ketentuan umum yang berlaku, seperti ditulis “Antara”.
“Eeiii. Wartawan muda. Ngana segera kirim bantahan ini dan bilang tidak ada penyelundupan kopra,” dengan nada marah Worang membantah berita yang bersumber dari “Antara” tersebut. Dia pun langsung memerintahkan MSK keesokan hari menghadap RI-24 di Sario Manado.
Pukul 08.00 tepat, MSK sudah ada di ruangan Bagian Satu kosong. Usai tanya sana, tanya sini, tiba-tiba muncul Sersan bertubuh besar. Di lengan tangannya terdapat tato ukuran sedang. Sersan ini mengundang MSK masuk ke sebuah ruangan kira-kira berukuran 4x5m. Tanpa dipersilakan duduk, tangan Sersan langsung menghantam dahi MSK. Muncul seorang Kopral. Kedua serdadu ini ‘mengadili’ MSK secara fisik selama sekitar 5 menit. Setelah istirahat sejenak, Pak Sersan yang berbadan gempal itu, mengangkat tubuh MSK, melemparnya menerobos jendela dan jatuh persis di atas tembok pagar.
“Ayo..masuk,” perintah Sersan yang direspons MSK dengan terseok-seok memanjati dinding masuk lagi ke ruangan sempit.
“Kalau ngana tulis apa-apa lagi, tunggu akibatnya. Ingat itu,” ancam Sersan tanpa tanya-tanya setelah MSK dipersilakan duduk dan diam. Dia tidak memberi reaksi. Tidak ada rasa takutnya. Mungkin karena usia masih sangat muda.
Max Warouw, kelahiran Kakas 1925, wartawan “Pedoman Rakyat” yang pindah ke Manado (dari Makassar) yang juga sebagai Pimpinan Partai Kedaulatan Rakyat, memprotes atas tindakan penangkapan dan pemukulan MSK itu. Ia menghadap Mayor Worang dan juga meminta jasa-jasa baik Laurens Saerang yang dikenal sebagai orang tajir, sosial, dan memiliki pengaruh besar di Manado/Minahasa.
MSK pun “dititip” di rumah Max Warouw. Secara diam-diam Max mengusahakan MSK keluar dari Manado. Bekerja sama dengan Departemen Penerangan, MSK kabur ke Jakarta dengan pesawat Dakota. (Makassar, 13 Agustus 2025).
Catatan Wartawan :(5) Dilempar via Jendela, Jatuh di Atas Tembok Pagar
Tanggal:
Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.