Catatan Wartawan: (5) Lolos Berkat Kamera Tanpa Film

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Setelah Soegardo diusir pemerintahan NIT, karena Mingguan Pedoman yang dipimpinnya tidak disenangi Belanda. Pimpinan Pedoman pun beralih ke Henk Rondonuwu. Tokoh ini kemudian ditangkap Belanda lantaran media yang dipimpinnya dianggap menghina Ratu Belanda, Juliana. Rondonuwu pada tahun 1948 dipenjara tiga bulan.

Pada tanggal 17 Agustus 1948, selain Mingguan Pedoman, juga terbit media baru yang diberi nama Pedoman Harian. Kedua media ini dipimpin Rondonuwu. Gara-gara dia ditahan, Mingguan Pedoman yang semula tengah bulanan menjadi mingguan, mandek terbit. Pedoman Harian yang terus terbit. Manuhua pun mengambilalih kepemimpinan media tersebut setelah Rondonuwu mengundurkan diri.
Setahun kemudian (1949), di samping Pedoman Harian, juga diterbitkan Mingguan Pedoman Nusantara. Media terakhir ini merupakan kolaborasi dari tiga media, Pedoman, Mingguan Nusantara, dan Mingguan Pedoman Wirawan. Nama ini sebenarnya merupakan gabungan rubrik Pemuda (pada Mingguan Pedoman) dengan Majalah Pemuda Wirawan. Semua media ini diterbitkan Badan Penerbit Nasional Pedoman.

Harian Pedoman Rakyat mulai terbit dengan nama itu hingga ‘menemui ajal’-nya mulai November 1950 yang merupakan gabungan dari seluruh media yang ada. Manuhua pun bertindak sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi hingga akhir hayatnya, 25 November 2003.
Manuhua termasuk salah seorang yang membidani berdirinya organisasi wartawan Indonesia, PWI Cabang Sulawesi Selatan dan Tenggara tahun 1948. Tetapi sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) baru tercatat tahun 1954. Nomor Kartu Pers/PWI 23. 0092. 54. P /23. 0168. 53. B.
Lelaki dengan hobby olahraga berburu ini menjalani pendidikan formal di Balai Pendidikan (Taman Siswa) di Ambon pada tahun 1933-1941. Setelah pindah ke Makassar, dia mencoba melanjutkan pendidikan di Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin tahun 1960. Namun pada tahun 1964, dia memutuskan berhenti kuliah dan memilih bergelut seratus persen di bidang pers.

Baca juga :  Wujudkan Harkamtibmas Pilkada Serentak 2024, Satsamapta Polres Pelabuhan Makassar Rutin Patroli Malam Hari

Meski termasuk drop out pendidikan formal universitas, Manuhua tak pernah berhenti mengikuti berbagai pendidikan nonformal dan latihan. Misalnya saja, Diklat P4 Tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 1979, dan Orpadnas Ujungpandang (1988), serta seabrek seminar, lokakarya, simposium, dan diskusi yang tentu saja beragendakan masalah pers dan penerbitan pernah diikutinya.
Suami Johanna Leonora Wacano (meninggal dunia tahun 1996), telah menjalani pekerjaan di media pers dalam rentang waktu yang cukup panjang. Sebelum ke Makassar, antara tahun 1943-1947, dia menjabat sebagai Redaktur Sinar Matahari dan Masa di Ambon. Setelah hijrah ke Makassar, dia dipercaya sebagai Wakil Pimpinan Antara yang dipegangnya antara tahun 1947-1952. Kemudian, akhirnya menjadi Pimpinan Antara Makassar (1967-1970).
Meskipun di luar harian yang dipimpinnya dibebani tanggungjawab yang tak ringan, Manuhua tetap menjabat sebagai Redaktur/ Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat (1947 hingga akhir hayatnya).

Selama di Makassar, tak terdengar kencang keaktifan Manuhua di bidang organisasi politik. Namanya selalu muncul dengan bendera PWI. Tetapi ketika masih di Ambon, dia pernah aktif dalam Partai Indonesia Merdeka Ambon (1946/1947), kemudian tercatat sebagai Pendiri/Sekretaris Persatuan Pemuda Indonesia di Ambon (1946-1947), Partai Kedaulatan Rakyat Makassar (anggota, 1947-1948), Ketua Kebaktian Rakyat Indonesia Maluku Makassar (1947-1950), Sekretaris Gerakan Anak Muda Indonesia Makassar (1948-1950), Sekretaris Badan Penunjang Keluarga Tahanan (1948-1950), Ketua PWI Cabang Makassar (1948) dan Pengurus PWI Pusat (1988), Anggota Badan Pertimbangan PWI Pusat (1980-1988), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (1980 -2003).
Putra dari Esau Mateus Manuhua (meninggal di Ambon, 1945) dengan ibu Ruth Karnaty ini memiliki lima saudara kandung (Corlina, Maria, Elizabeth, Johanna, dan Naomi). Dari hasil perkawinannya dengan Johanna Leonora Wacanno, Manuhua dikaruniai delapan orang anak, masing-masing: Srikasih Nurani, Djajandy Putri, Mediana Farida, Ventje Satriabuana, Ruthiana Junita, Benny Indranusa, Liniaty Canceria, dan Johanna E.Monica.

Baca juga :  Akibat Banjir, Jembatan Darurat di Poros Sinjai-Kajang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda Empat

Sebagai sesepuh pers Indonesia, Manuhua sudah mengantongi penghargaan sangat bergengsi dari negara dan organisasi profesi yang digelutinya. Penghargaan-penghargaan itu adalah: Penghargaan Penegak Pers Pancasila PWI (1989), Bintang Mahaputra Utama (1996), Gelar Kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI, dan menerima cincin penghargaan dari Pemda Sulsel sebagai warga Sulsel yang memperoleh Bintang Mahaputra Utama (1996).

Ketika masih aktif meliput, terutama pada saat berkecamuknya gerombolan Abd. Qahar Mudzakkar, Manuhua sering ikut bersama tentara yang melaksanakan operasi saat Jenderal Jusuf menjabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin (kini Kodam VII Wirabuana lalu kembali menjadi Kodam XIV Hasanuddin). Dia sangat dekat dengan mendiang Jenderal M. Jusuf. Selasa malam, 25 November 2003, pendiri harian Pedoman Rakyat itu meninggal dunia dalam usia 78 tahun, di Rumah Sakit Hikmah Makassar. Penyakit stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1991 menjemputnya menuju kematian. Tokoh pers kelahiran Ambon, 4 Juni 1925 ini meninggalkan delapan anak, enam putri dan dua putra. Istrinya, Johanna Leonora Wacanno yang dinikahinya empat tahun setibanya di Makassar, berpulang lebih dulu tahun 1996.

Jenazah wartawan senior ini dimakamkan di Pemakaman Kristen Antang pada Rabu (27-11-2003) dalam upacara militer (karena sebagai penerima Bintang Mahaputra Utama RI (berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang), berdampingan dengan pusara istrinya yang meninggal dunia tujuh tahun sebelumnya. Jenazah Manuhua sebelumnya disemayamkan dua hari di rumah duka Jln. Cenderawasih I No. 12 Makassar. Tokoh pers nasional penerima Bintang Mahaputra Utama RI (1996) ini dikenal sebagai seorang sosok yang karismatik dan profesional. Ia akan gusar jika di koran lain ada berita bagus, namun di korannya sendiri (Pedoman Rakyat) tidak ada.

Dalam kepemimpinan, ia memandang aset paling utama dari sebuah penerbitan pers adalah sumber daya manusianya. Oleh karena itu, selain memberikan yang terbaik bagi karyawan, ia juga mengupayakan kenyamanan kerja dengan membangun kantor Pedoman Rakyat berlantai empat. Saat itu kantor harian Pedoman Rakyat termasuk paling besar di KTI.
Sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman Rakyat (2003), saat Manuhua meninggal dunia, di mata karyawannya, Tete termasuk orang yang sering berlaku unik di kantor. Ia sering berdiri mengintai di belakang wartawan yang sedang menulis berita. Kalau ada kesalahan dia baru menegur.

Baca juga :  Kerajinan Unggulan Sinjai Akan Dipromosikan dalam Pameran INACRAFT di Jakarta

‘’Pemimpin yang senang berburu binatang ini sangat akrab dengan karyawan dan wartawan. Tak ada sekat antara kami dengan dia,” tulis LKBN Antara mengutip keterangan saya. Begitu pula menyangkut disiplin, Tete sangat peduli bahkan pertama kali kena stroke tahun 1991, ia tetap masuk kantor. Dalam rapat-rapat, tidak ada yang berani berisik, apalagi berdiskusi sendiri. Jika memimpin rapat, nyaris tak terdengar ada suara lain.
“Profesionalitas inilah yang hilang di kantor ini sekarang,” tutur saya kepada “Antara” waktu itu.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama mengenang Manuhua sebagai tokoh pers yang moderat dan independen. “Sikap independen dan moderat yang menjadi ciri kategori koran-koran menemukan personifikasinya pada diri Lazarus Eduard Manuhua,” kata Jakob Oetama dalam buku Abdi Pers LE Manuhua: Dari Ambon Ke Makassar Untuk RI, sebuah buku yang diterbitkan tahun 1996 untuk menyambut 70 tahun usia Manuhua.
Dalam buku yang sama, Tribuana Said, tokoh pers lainnya, menyebutkan, “Pak Manuhua memunyai rasa kebersamaan dan kesetiakawanan yang tinggi antarsesama pers.”

Sungguh disayangkan, hanya berselang empat tahun kepergian Manuhua, Harian Pedoman Rakyat yang berdarah-darah dia jaga dan besarkan, menyusuli kepergiannya. Tiada.(M.Dahlan Abubakar, Makassar, 14 Agustus 2025).

1
2
TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Yayasan Konservasi Satwa & Lingkungan Resmi Diluncurkan di IKN: Gerakan Hijau Menuju Forest City Dunia

PEDOMANRAKYAT, PENAJAM (KALTIM) - Di tengah semangat perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-80, Ibu Kota Nusantara (IKN)...

Bupati Frederik V. Palimbong Jadi Inspektur Upacara Pada HUT ke-80 RI di Toraja Utara

PEDOMANRAKYAT, TORAJA UTARA - Pemerintah Daerah Toraja Utara melaksanakan Upacara Pengibaran Bendera Sang Saka Merah Putih dalam memperingati...

Camat Bontoramba Inspektur Upacara Peringatan HUT RI 80

JENEPONTO, PEDOMAN RAKYAT.Camat Bontoramba Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan Nur Lewa, S.Kom jadi Inspektur pada Upacara Pengibaran Bendera Merah...

92 Warga Binaan Rutan Kelas IIB Watansoppeng Terima Remisi

PEDOMANRAKYAT,SOPPENG - Dalam rangkaian peringatan HUT ke – 80 Kemerdekaan RI , ,92 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Rutan...