Ia menuntut pemerintah bertindak tegas menggunakan UU Perdagangan untuk menghukum penimbun dan penipu harga pangan.
“Afiliasi mereka boleh membela, tapi rakyat sudah tahu permainan ini. Jangan beri ruang bagi mafia menguasai beras, hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Debi juga menyinggung kritik terkait surplus beras dan swasembada.
“Yang menyatakan swasembada dan surplus beras di Indonesia itu lembaga kredibel seperti FAO, USDA, dan BPS. Kalau masih ada yang meragukan, itu sesat pikir dan lemah nasionalisme. Mentan pun sudah tidak lagi mengeluarkan data. Saya benar-benar tidak habis pikir,” ujarnya.
Menurutnya, aneh jika negara memberi subsidi ketahanan pangan besar—tahun ini Rp 155 triliun, tahun depan Rp 164,4 triliun—namun justru dimanfaatkan konglomerat beras untuk meraup untung.
“Kalau 50% saja terealisasi, itu berarti Rp 75 triliun digunakan lalu dijual dengan kualitas yang menipu konsumen. Bubar kita ini!” katanya.
Debi mengutip pernyataan Joao Angelo De Sousa Mota yang mundur dari jabatan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara.
Menurut Joao, penggilingan padi besar berani menjual beras yang mayoritas tidak layak, salah satunya karena praktik pengoplosan.
“Ada invasi luar biasa oleh penggilingan besar terhadap petani kita,” ujarnya.
Joao menjelaskan, para penggilingan besar membeli gabah dari petani kecil yang mendapat subsidi pemerintah. Hal ini memberi keuntungan besar bagi mereka karena mendapatkan bahan baku murah dari petani bersubsidi.
Dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan MPR–DPR (15/8/2025), Presiden Prabowo Subianto juga menyampaikan keprihatinannya.
“Sungguh aneh, negara memberikan subsidi—pupuk, alat pertanian, bahkan beras—tapi harga pangan tetap mahal dan tidak terjangkau sebagian rakyat,” katanya.
Presiden menegaskan, usaha penggilingan padi skala besar harus memiliki izin khusus dari pemerintah.
“Kalau mereka tidak bisa bertindak adil, jangan bermain di atas kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Kalau tidak, silakan pindah ke bidang lain,” ujarnya.
Langkah ini menjadi bentuk perlindungan terhadap kebutuhan pangan rakyat dan penegasan bahwa sektor vital tidak boleh dikuasai segelintir pemain besar yang mengeksploitasi posisinya untuk keuntungan pribadi. (*)