Bayi Terlahir di Puncak ‘Ncanga’ itu, Kini Profesor!

Tanggal:

Follow Pedomanrakyat.co.id untuk mendapatkan informasi terkini.

Klik WhatsApp Channel  |  Google News

Rupanya, dua bukit yang dipisahkan oleh sungai itulah disebut “ncanga”, bercabang. Ketinggian dua bukit ini hampir sama. Kalau pun berbeda, tidak terlalu jauh. Belum berapa lama Abd.Thalib pergi, Suhartati yang berusia 14 tahun, Abd. Halik (12), dan Asmah (11), menemani Hafsah, ibunya, mulai menyiangi padi ladang yang bersiap berbuah. Orang Bima menyebut kegiatan menyiangi tanaman padi dari tanaman pengganggu (gulma) disebut hui. Matahari pagi yang masih sejuk ditingkahi semilir angin gunung, menyertai ibu dan tiga anak ini menyiangi tanaman padi dengan penuh semangat. Apalagi matahari belum terlalu terik.

Tiba-tiba, belum lama membungkuk dan tangan mereka mencabuti tanaman pengganggu, terdengar suara lirih Hafsah.
“Perutku sakit..Perutku sakit,” katanya sembari memegang perutnya yang memang sudah hamil tua.
“Kalau sakit perut, istirahat saja dulu. Nanti kami bertiga yang akan melanjutkan pekerjaan ini,” kata Halik kepada ibunya.
Hafsah mungkin lupa menghitung bulan karena sibuk mengurusi tanaman padi ladang. Perempuan tangguh ini memang termasuk menjadi tulang punggung keluarga mengurusi sebagian pekerjaan sebagai petani, selama hari-hari suaminya, Abd.Thalib, pergi ke hutan berburu rusa. Hafsah adalah seorang perempuan desa yang rajin bekerja. Dia tidak mau berpangku tangan. Pada musim berladang, saat suaminya pergi berburu rusa, dia mengerjakan ladang bersama anak-anaknya. Pada saat padi baru tumbuh dan berbuah, dia bekerja menyiangi rerumputan yang tumbuh di antara pohon padi. Hafsah bersama anak-anaknya, Abd. Halik, Suhartati, dan Asmah melakukan pekerjaan menyiangi padi.

Hasil buruan Abd. Thalib merupakan sumber penghidupan keluarga, teristimewa untuk membiayai pendidikan anak-anaknya yang sudah mulai memasuki sekolah dasar. Keluarga ini tidak memiliki pekerjaan lain untuk memperoleh uang, kecuali berburu. Nanti setelah anak-anaknya besar, barulah memiliki usaha-usaha sporadis dan sampingan yang bisa menghasilkan uang. Seperti yang dilakukan anak-anak yang pergi mencari pelepah daun pinang atau menyabit rumput untuk dijual. Membeli angkutan desa (benhur) dan anaknya juga menjadi sais benhur orang lain dengan mengharapkan upah dari pekerjaaannya itu.
“Modalnya saat berangkat ke Makassar, dia hanya memberi tahu ingin pergi menuntut ilmu. Bagaimana, Dik. Kita tidak punya biaya yang untuk membiayai. Dia berangkat ke Makassar (1990) hanya saya bekali dengan uang Rp 5.000,“ ujar Suhartati — anak sulung — dengan suara yang terdengar bergetar, kemudian terdengar terisak kecil, saat saya wawancarai dari Makassar melalui telepon 24 Juni 2025 malam.
Dia melepas adiknya merantau, menyeberangi lautan menuju pulau seberang tanpa sanak keluarga yang didatangi. Dia akan belajar mandiri tanpa kemampuan ekonomi.

Baca juga :  Berkunjung ke Kodim 1405/Parepare, Pangdam Hasanuddin : Komunikasi yang Baik akan Selesaikan Masalah

Hidup tanpa keluarga di negeri orang. Berusaha sekuat tenaga memikul pesan orang tua, menjadi orang. Orang tua tidak memiliki apa-apa, kecuali keinginan dan mimpi supaya anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian hari.
“Ini pengalaman yang pahit dialami waktu itu. Jika tidak jualan sayur, kita jual kue, dan melaksanakan pekerjaan yang lain-lain,” ujar Asmah yang diwisuda di STIKP Bima tahun 1995 itu dalam percakapan dengan penulis 15 Juli 2025 malam.

Kesulitan kehidupan keluarga ini tidak ada taranya.
“Kalau dilihat ketidakmampuan kami dari segi ekonomi, bukan saja di Kecamatan Sanggar, melainkan mungkin juga untuk seluruh Kabupaten Bima. Sebab, dari kehidupan dengan ekonomi yang sulit itu, ternyata ayah mampu menyekolahkan 7 anaknya hingga menjadi ‘orang’. Hanya saya yang gagal karena memberi kesempatan kepada adik-adik saya,” Nuraini, anak keempat pasangan Abd.Thalib-Hafsah, dengan terisak-isak berkisah kepada saya — yang ikut terenyuh — saat ditemui di Desa Boro Kecamatan Sanggar 21 Juli 2025 menjelang siang.

Selain, Suhartati, Abd.Halik, St.Asmah, juga St.Hudayah, Rosdina Mahyuti, dan Izhar sudah menjadi “orang”. Diangkat pegawai negeri sipil.
Meskipun hidup dalam keserbakekurangan, Thalib tetap berusaha menyekolahkan anaknya. Mereka tidak boleh mengikuti jejak ayah mereka yang hanya bersekolah hingga sekolah rakyat zaman dulu. “Saya hanya ingin bisluit, ijazah. Tidak mau melihat kalian pulang dengan menggandeng perempuan cantik. Kalian harus sekolah, bagaimana pun caraku membiayai,” inilah kalimat yang selalu ditekankan kepada anak-anaknya yang ternyata dari delapan anaknya yang hidup, hanya satu yang tidak menjadi pegawai negeri.
Hafsah pun berjalan, ketiga anaknya masih tetap menyiangi padi. Pada sebuah batu besar yang tertanam dalam di tanah, dia bersandar sejenak sembari memegang perutnya. Berharap dengan beristirahat sejenak sakit perutnya akan reda. Tetapi ini bukan sakit perut biasa. Di bagian dalam perutnya, Hafsah merasakan ada yang bergerak. Seolah menendang-dendang dinding perutnya. Dia lupa ada generasi yang akan hadir di bumi. Meninggalkan alam rahim seorang perempuan.
Hafsah pun berjalan meninggalkan ketiga anaknya yang terus bekerja menyiangi padi. Dia mendaki lereng “ncanga” seorang diri, menuju “salaja” (pondok) di kejauan sekitar 200m di atas sana. Lereng ini memiliki kemiringan terbilang ekstrem. Diperkirakan mencapai antara 60-70 derajat. Tanjakan ini harus ditaklukkan Hafsah untuk menjangkau “salaja” yang tegak di dekat pohon asam yang hingga kunjungan saya 21 Juli 2025 menjadi saksi bisu kelahiran putra ke-5 pasangan Abd.Thalib-Hafsah.
Belum lama Hafsah meninggalkan ketiga anaknya mencabuti rumput liar di antara pohon padi, dari arah “salaja”, terdengar suara tangis bayi.
“Eaak..eaak…eeaaak!,” baru saja Hafsah yang berkeringat mendaki bukit “ncanga”, naik ke salaja suara ini terdengar.

Baca juga :  Anggota MPR RI Ajiep Padindang Laksanakan Sosialisasi Empat Pilar Di Kota Makassar

Matahari baru saja naik belum terlalu tinggi. Masih berat condong ke timur. Bahkan hampir masih tersembunyi di balik “ncanga” yang sebelah kanan. Hafsah mendaki lereng di barisan “ncanga” yang sebelah kiri. Udara masih sejuk di puncak gunung. Sinar mentari mengirim udara sejuk di puncaknya hari itu.

Mendengar suara itu, ketiganya segera menghentikan pekerjaannya. Suhartati dan Asmah segera ke “salaja”. Abd. Halik yang setelah mendengar suara bayi langsung berlari ke desa menjemput “sando” (dukun beranak). Suhartati dan Asmah yang belum mengerti akan proses kelahiran seorang manusia, sebelumnya memang melihat ada darah dan kotoran membekas di sarung yang dikenakan ibunya. Tetapi mereka tidak mengerti tanda-tanda seseorang akan bersalin. Mereka masih remaja, terlalu muda untuk memahami fenomena seperti ini. Meskipun berusia 14 tahun saat itu, Suhartati masih awam dan belum pernah melihat seorang perempuan melahirkan. Apalagi Asmah yang baru berusia 11 tahun. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti urusan perempuan dewasa yang melahirkan.

“’Kalembo ade ta inae’…(banyak sabar, Ibunda)” hanya itu yang mampu Suhartati dan Asmah ucapkan kepada ibunya saat tiba di salaja beberapa saat kemudian setelah ibunya melahirkan.
“Na mone ki Sei,” (laki-laki, Hafsah),” Suhartati memberi tahu ibunya mengenai jenis kelamin anaknya yang baru lahir itu laki-laki setelah tiba di salaja. Suhartati dan Asmah tidak berbuat apa-apa menghadapi pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang piawai yang bernama sando melahirkan.
“Telah lahir adikku, “gumam Abd. Halik setelah mendengar bunyi “eaaak..” dan terus berlari kecil menuju desa.
Membiarkan kakaknya, Suhartati dan adiknya Asmah yang membersamai Ibunda Hafsah sembari menunggu bantuan sando (dukun beranak) Wai Boi yang dipanggil Abd. Halik. Wai Boi, perempuan yang sudah dikenal sebagai dukun beranak di Desa Boro kala itu. Jarak yang ditempuh berkisar 2-3 km dari Ncanga, yang dia harus berlari. Dia paham Ibunya sedang dalam keadaan darurat.

Baca juga :  APINDO Sulsel Siap Dukung Program Pemerintah Kota Makassar

Saat Abd. Halik dan Wai Boi tiba, sisa-sisa persalinan sudah kering. Hafsah pun sudah dimandikan oleh kedua anaknya. Wai Boi kemudian memotong tali pusar si kecil yang baru lahir dan menanam ari-arinya.
“Tali ari-ari saya katanya mengitari kepala. Mungkin itu tanda akan menjadi sosok yang mendalami agama,” bayi yang lahir 53 tahun itu secara berkelakar pada saya di kebunnya di Pattalassang Gowa, 27 Juli 2025 sore.
Di rembang petang, Abd. Thalib menginjakkan kakinya di lereng “ncanga”. Melewati batu besar, tempat istrinya bersandar beberapa jam sebelumnya. Saat mendaki lereng menuju “salaja” di puncak “ncanga” dia mendengar suara yang langka, tetapi rutin. Pertanda awal dari siklus kehidupan seorang anak manusia.
“Eaaak… eaaaak..eaaaak..,” suara itu melintas di telinga Thalib saat kakinya terus melangkah mendaki lereng “ncanga” sore itu.
“Telah lahir anakku,” batin Abd. Thalib berbisik sembari semakin mempercepat langkahnya dengan beban bagian daging dua ekor rusa yang mampu dipikulnya hari itu.

Dua ekor rusa yang diperolehnya itu, pertama kali terjadi dalam sejarah perburuannya yang berbilang tahun. Rezeki ini merupakan berkah dari Allah swt bertepatan dengan kelahiran anak kelimanya hari itu. Anak itu kemudian diberi nama Umar. Namun karena sering sakit-sakitan, namanya pun diganti. Bayi ini seiring dengan bertambah usianya, menapaki jenjang demi jenjang pendidikan dengan kecerdasan yang dipuji para gurunya. Dia tamat di SDN 2 Boro Sanggar (1982/1983), SMPN Sanggar (1986/1987), SMAN 2 Bima (1990/1991), S-1 (1994/1995), S-2 (2001), dan S-3 (2008) di IAIN (UIN) Alauddin, kemudian menjadi dosen di almamaternya pada tahun 1997 hingga kini.
Pada tanggal 20 Agustus 2025 ini bayi mungil yang lahir di lereng “ncanga” Desa Boro Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima tahun 1972 itu, dikukuhkan sebagai Guru Besar UIN Alauddin Makassar dengan nama lengkap Prof.Dr.Abdullah Abd. Thalib, S.Ag., M.Ag. “Vivat academia, vivat Professores! “ (*).

1
2
TAMPILKAN SEMUA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terkait

Peringatan HUT RI KE 80 di Rammang-Rammang: Menikmati Keindahan Alam dan Meningkatkan Kesadaran Lingkungan

PEDOMANRAKYAT, MAROS.- Rammang-Rammang adalah sebuah kawasan hutan mangrove yang terletak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan ini dikenal...

Dari Dermaga 1, ke Rammang – Rammang: Menikmati Keindahan Alam Hutan Mangrove

PEDOMANRAKYAT, MAROS - Katanya, perjalanan dari Dermaga 1 dengan perahu menuju Rammang - Rammang adalah sebuah pengalaman yang...

HUT ke-80 RI, Mentan Amran: Indonesia Siap Rebut Swasembada Pangan Tahun Ini

PEDOMANRAKYAT, JAKARTA — Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa Indonesia siap merebut swasembada pangan dalam waktu...

Bara JP Sulsel Gaungkan Dukungan Prabowo–Gibran Dua Periode, Tegaskan Optimisme Indonesia Maju dan Sejahtera

PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Semangat Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia kian bergema di Sulawesi Selatan. Barisan Relawan Jalan Perubahan...