Selama persinggahan tersebut, mereka berbagi pengetahuan tentang bercocok tanam dengan penduduk setempat. Setelah berlayar kembali, Wang Jing Hong memutuskan untuk menetap di Simongan.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa Cheng Ho juga memainkan peran dalam penyebaran Islam, seperti yang ditulis Yuanzhi dalam buku Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara.
Untuk mengenang pemimpin armadanya, Wang Jing Hong yang menetap di Gedong Batu mendirikan sebuah patung di dalam gua peristirahatan. Sebelum dibangun kelenteng, gua ini sudah menjadi tempat persembahyangan bagi umat Konghucu.
Namun, pada tahun 1704, gua tersebut runtuh. Agar jejak Cheng Ho tidak hilang ditelan zaman, dibangunlah kembali sebuah gua dan kelenteng yang diberi nama Sam Poo Kong, diambil dari nama asli Laksamana Cheng Ho, yaitu Ma San Bao.
Awalnya, kelenteng ini memiliki lahan terbatas dan menghadapi berbagai hambatan dari para tuan tanah setempat. Dinamika ini menarik perhatian para pengusaha terkemuka. Salah satunya adalah Oei Tjie Sien, seorang konglomerat Asia Tenggara abad ke-19 dan ayah dari Oei Tiong Ham, “Raja Gula” dari Hindia Belanda.
Tergerak oleh rasa solidaritas, Oei Tjie Sien bersama para pengusaha dan masyarakat Tionghoa lainnya bergotong royong membebaskan lahan di Simongan. Berkat upaya kolektif ini, Yayasan Sam Poo Kong kini memiliki lahan yang amat luas.
Perkembangan Sam Poo Kong berlanjut selama masa pemerintahan Soekarno, baik dari segi bangunan maupun jumlah jemaat. Namun, pada era Orde Baru, kawasan ini mengalami berbagai tantangan. Salah satunya adalah pembongkaran gapura yang didirikan tanpa izin, karena lahan tersebut akan digunakan untuk pelebaran jalan.
Perkembangan pesat baru terjadi setelah era Reformasi, tepatnya setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara resmi mengakui Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia. Sejak tahun 2002, pembangunan besar-besaran dimulai, mengubah Sam Poo Kong menjadi kawasan wisata religi yang termasyhur hingga kini. (jw)