Ide pembangunan Svargabumi muncul dari potensi besar Borobudur yang belum sepenuhnya digali. Selama ini, wisatawan cenderung hanya berfokus pada Candi Borobudur. Maka, dikembangkanlah wisata alternatif ini untuk memberikan pengalaman yang berbeda.
Sebelum dibangun, pihak pengelola melakukan riset mendalam selama setahun. Mereka menemukan hamparan sawah tadah hujan yang kurang produktif di Desa Ngaran dan Gopalan. Lokasi yang strategis, di pinggir jalan utama, serta pemandangan yang indah menjadikannya pilihan sempurna.
Nama ‘Svargabumi’ pun dipilih karena tempat ini memang terasa seperti surga, sebuah keindahan alami ciptaan Tuhan. Tempat ini menjadi bukti bahwa Borobudur adalah mutiara terpendam yang layak untuk dieksplorasi lebih dalam.
Pembangunan Svargabumi bukanlah tanpa tantangan. Salah satu yang terbesar adalah meyakinkan masyarakat setempat. Pengelola harus melakukan pendekatan ‘kulonuwun’ kepada pemilik lahan, petani, perangkat desa, dan tokoh masyarakat.
Mereka harus menjelaskan bahwa proyek ini tidak hanya untuk wisata, tetapi juga untuk melestarikan alam dan memberdayakan warga. Pendekatan ini berhasil, dan semua pihak sepakat karena pemilik lahan tetap bisa memanen hasil, petani tetap bekerja, bahkan lahan mereka disewa. Dengan demikian, semua pihak diuntungkan.
Tantangan lainnya adalah soal pengairan. Karena merupakan sawah tadah hujan, ketersediaan air harus selalu dijaga. Pengelola mengatur pola tanam secara bergantian dan berkesinambungan. Ketika satu petak sawah dipanen, petak lain ditanami, sehingga sawah selalu hijau dan terjaga keindahannya.
Di area seluas 4 hektare (3 hektare sawah dan 1 hektare parkir), pengelola membangun sekitar 22 spot foto modern yang unik. Wisatawan bisa berkeliling tanpa menginjak sawah, karena sudah disediakan jalan kayu. Selain berswafoto, pengunjung juga dapat menyaksikan langsung aktivitas petani yang sedang menggarap sawah. Pengalaman ini memberikan nilai edukasi tentang kerja keras petani yang saat ini semakin jarang terlihat.
Pihak pengelola juga berkomitmen memberdayakan masyarakat. Sekitar 60-70% tenaga kerja berasal dari Borobudur, dan sisanya dari wilayah sekitar. Selain itu, warga juga difasilitasi dengan kios gratis untuk berjualan. Pemuda desa bahkan diberi kesempatan mengelola toilet dengan standar yang telah ditentukan. Semua pendapatan dari pengelolaan toilet sepenuhnya untuk mereka. Ini menunjukkan niat tulus pengelola untuk memberikan dampak positif yang nyata bagi warga setempat. (jw)