Oleh : Asri Pratiwi Tenggara (Wakil Menteri Koordinator Politik dan Diplomasi BEM UMJ)
Reshuffle kabinet selalu menjadi drama politik yang menyedot perhatian publik, media, hingga pelaku pasar. Ia bukan sekadar soal pergantian wajah di kursi kementerian, melainkan juga menyangkut tafsir atas arah negara dan strategi kepemimpinan nasional dalam menghadapi tantangan kebangsaan.
Peristiwa perombakan lima menteri dalam Kabinet Merah Putih baru-baru ini menjadi salah satu episode paling signifikan, karena menyangkut tokoh-tokoh penting yang selama ini dipandang sebagai pilar stabilitas, baik di bidang ekonomi maupun politik.
Nama Sri Mulyani Indrawati, misalnya, bukan hanya seorang Menteri Keuangan biasa. Ia dikenal sebagai teknokrat yang mumpuni, dihormati di kancah internasional, dan menjadi simbol integritas fiskal Indonesia.
Pencopotannya di tengah gelombang protes sosial mengirimkan pesan ambigu. Di satu sisi, publik menafsirkan langkah ini sebagai jawaban atas keresahan rakyat terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap elitis.
Namun, di sisi lain, investor dan pelaku pasar justru merespons dengan kekhawatiran, karena hilangnya figur kredibel berpotensi memicu instabilitas keuangan. Reaksi pasar yang cukup tajam—turunnya indeks saham dan fluktuasi nilai tukar rupiah—menunjukkan betapa besar dampak politik terhadap ekosistem ekonomi.
Tidak hanya Sri Mulyani, pencopotan Budi Gunawan dari kursi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan juga menimbulkan pertanyaan serius. Posisi yang ia emban menyangkut jantung stabilitas negara: keamanan, hukum, dan politik. Pergantian mendadak di sektor ini mengisyaratkan adanya ketegangan internal atau kegagalan mengendalikan dinamika protes sosial yang meluas.
Bagi masyarakat, peristiwa ini bisa dimaknai sebagai tanda bahwa pemerintah sedang mencari wajah baru untuk meredam ketidakpuasan. Namun, bagi kalangan elite politik, ini juga bisa memunculkan tafsir persaingan kekuasaan yang kian tajam.
Dua figur besar ini bukan satu-satunya korban reshuffle. Tercatat pula Dito Ariotedjo, Budi Arie Setiadi, dan Abdul Kadir Karding harus meninggalkan kursi kementeriannya. Kelima menteri ini, jika ditarik dalam garis besar, merepresentasikan spektrum kepentingan yang luas: ekonomi, politik, olahraga, koperasi, hingga perlindungan pekerja migran.
Dengan demikian, reshuffle kali ini bukan hanya “operasi minor” yang menyasar sektor tertentu, melainkan operasi besar yang seolah hendak merombak fondasi kepercayaan antara pemerintah dengan rakyat.
Implikasi terhadap stabilitas politik kebangsaan jelas sangat signifikan. Politik Indonesia sejak lama berjalan di atas rel yang rapuh: persaingan elite yang kerap menyingkirkan substansi, serta keresahan rakyat yang sering kali hanya direspons dengan langkah-langkah jangka pendek.
Reshuffle lima menteri bisa dibaca sebagai upaya taktis Presiden untuk menenangkan gejolak. Namun pertanyaannya: apakah strategi jangka pendek ini mampu melahirkan stabilitas jangka panjang?