PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR – Warisan merupakan isu kompleks yang memerlukan keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan nilai-nilai budaya dengan memastikan keadilan dan kesetaraan bagi semua ahli waris. “Konflik antara tradisi dan keadilan dapat diatasi melalui rekonstruksi dan reinterpretasi tradisi, serta upaya untuk mencapai solusi yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, keadilan dan kesetaraan dapat tercapai dalam pembagian warisan,” ucap Prof. Dr. Drs. Supardin, M.Hi, pada pidato penerimaan jabatan sebagai Guru Besar dalam Bidang Fikih Mawaris dan Hukum Kewarisan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin, Rabu (17/9/2025) di Auditorium UIN Alauddin Kampus Samata Gowa.
Pada sidang Senat Terbuka Luar Biasa Senat UIN Alauddin tersebut juga dikukuhkan Prof. Dr. Drs. H.M. Tahir Maloko, BA.,M.HI, Prof. Dr. Drs. Muhammad Yahya, M.Ag., dan Prof. Dr. H. Munawir Kamaluddin, S.Ag., M.Ag. Upacara pengukuhan jabatan guru besar tersebut dihadiri Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar, Rektor UIN Alauddin Prof. Drs. Hamdan Juhanis, MA, Ph.D., para Pimpinan dan Pejabat Universitas/Fakultas/Prodi, civitas Akademika Lingkup UIN Alauddin Makassar, Ketua dan Anggota Dharma Wanita Persatuan UIN Alauddin Makassar, dan para mahasiswa, rekan sejawat, dan keluarga.
Dalam orasi ilmiahnya berjudul “ Warisan di Persimpangan Konflik antara Tradisi dan Keadilan” pria kelahiran Batu Merah, Malili Kabupaten Luwu (kini Kabupaten Luwu Timur) 2 Maret 1965, itu mengatakan, warisan di persimpangan menggambarkan situasi ketika pembagian warisan harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut, yaitu tradisi dan keadilan, untuk mencapai solusi yang adil dan seimbang. Warisan budaya merupakan harta yang tak ternilai harganya. Namun, tradisi yang tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai keadilan akan kehilangan relevansinya di tengah perubahan zaman.
Putra pasangan Diusman Djahir (Diu, almarhum-Sitti Fatimah (Pati, almarhumah) menyampaikan, implikasi dari penelitiannya ini, sebagai akademisi, tugas ini menjadi agen perubahan yang kritis namun bijaksana. Akademisi dan praktisi harus mampu menjaga keseimbangan antara melestarikan tradisi dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Tempat persimpangan ini, seyogianya mampu menentukan arah yang benar, bukan hanya demi masa kini, tetapi juga demi masa depan yang lebih adil dan bermartabat bagi semua pihak.
“Apabila menemukan kasus kewarisan di persimpangan, kiranya mohon untuk segera menghubungi ahlinya,” ujar suami Dra.Hj. Wahida Rahim, M.M. ini berpromosi sembari menyebut dirinya.
Ayah tiga anak ini (Dr.Muhammad Ikhlas Supardin, SH, MA., Ahmad Muhayi Supardin, S.H., dan Abdul Mujib Supardin) mengemukakan, judul orasinya ini muncul di pertengahan tahun 2023 setelah mengidentifikasi 10 masalah dan melakukan wawancara kepada 20 orang Guru Besar dan 1 orang calon Guru Besar. Hasilnya lebih banyak menyetujui judul ini yakni 8 orang atau 38% dari 21 responden dan sisanya 62% (13 orang) terbagi-bagi ke dalam 9 judul lainnya rata-rata 6,8-6,9 %.
“Lebih dikuatkan lagi oleh penyataan Rektor UINAM Prof. Hamdan Juhanis saat acara Sidang Senat Terbuka Luar Biasa: Pengukuhan Guru Besar tanggal 22 Mei 2025 yang menawarkan penelitian lanjutan tentang “Poligami di Persimpangan,” ujar Prof. Supardin mengawali orasinya yang membuat yang hadir terkekeh, kemudian menambahkan, pernyataan inilah yang membuat saya tertarik (faktor primer) untuk melanjutkan Pidato/Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar saya: “Warisan di Persimpangan: Konflik antara Tradisi dan Keadilan.”
Alasan lain, imbuh Prof. Supardin, ketika dipanggil menjadi saksi ahli di Pengadilan Agama Makassar Kelas IA Khusus dan Pengadilan Agama Palopo Kelas II. Selain itu, juga dipanggail memediasi keluarga pada daerah dengan inisial (J) dan daerah lain dengan inisial (E) terkait pewaris yang mempunyai 3 istri. “Setiap istri mempunyai anak dengan harta warisan yang banyak (kasus munāsakhah), dan saya dipercaya sebagai “mediator non-litigasi,” ujar lulusan S-1 Fakultas Syariah dan Hukum IAIN Alauddin tahun 1991 tersebut.