Menurut dia, indikator perubahan di era Kajati baru hanya bisa diukur lewat keberanian melangkah.
“Pemulihan kepercayaan publik harus ditunjukkan lewat tindakan hukum, bukan sekadar pernyataan normatif,” kata Kadir.
Kasus dugaan korupsi ART DPRD Tana Toraja mencuat setelah unjuk rasa Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Mafia Hukum di Kantor Kejati Sulsel, 19 Agustus 2024 lalu.
Massa menyoroti penggunaan anggaran rumah jabatan pimpinan DPRD sejak 2017 hingga 2024 yang diduga tidak ditempati, tetapi tetap menyedot anggaran konsumsi, listrik, air, dan pemeliharaan.
Koordinator aksi, Issank, membeberkan rincian dugaan penyimpangan, dana konsumsi sekitar Rp25 juta per bulan, listrik dan air Rp10 juta, serta biaya pemeliharaan rumah jabatan mencapai Rp152 juta per tahun.
“Ini janggal, rumahnya tidak dihuni tapi anggarannya terus jalan setiap tahun,” kata Issank dalam orasi.
Para mahasiswa juga menolak jika kasus itu diselesaikan lewat pengembalian dana.
“Kalau korupsi cukup ditebus dengan mengembalikan uang, maka hukum sedang dipermainkan,” ujar mereka dalam pernyataan tertulis.
Pihak Kejati Sulsel sebelumnya menyatakan penyelidikan masih berjalan. Kepala Seksi Penerangan Hukum, Soetarmi, mengatakan tim penyidik berhati-hati memverifikasi setiap data.
“Kami tidak ingin gegabah dalam menyimpulkan perkara,” ujarnya pada Juli lalu.
Soetarmi menyebut perkara ART DPRD Tana Toraja termasuk dalam rangkaian penyelidikan serupa di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan.
Namun, hingga kini belum ada keputusan peningkatan status perkara ke tahap penyidikan.
Kini, publik menanti arah baru di bawah kepemimpinan Didik Farkhan. Apakah Kejati Sulsel berani menuntaskan perkara yang lama tertahan di meja telaah internal, atau justru kembali membiarkannya tenggelam dalam diam, Ketua Badan Pekerja Anti-Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, menandaskan. (Hdr)