Ia membeberkan, majelis hakim kala itu menyatakan Sulfikar dan Hamsul terbukti bersalah. Putusan tersebut dikuatkan di tingkat banding, lalu disempurnakan Mahkamah Agung lewat Putusan Nomor 191 K/Pid/2023 tertanggal 13 Februari 2023, yang menetapkan hukuman tiga tahun enam bulan penjara bagi Sulfikar.
Vonis itu, tambahnya, menjadi dasar bagi penyidik Polda Sulsel membuka penyelidikan baru atas dugaan pencucian uang hasil kejahatan asal.
Urai Soetarmi lagi, dari hasil penelusuran, sebagian dana yang digelapkan diduga dialihkan ke sejumlah rekening lain dan disamarkan melalui transaksi keuangan berlapis. Pola inilah yang kemudian menjadi konstruksi perkara TPPU.
Namun, timpal Soetarmi, jalan hukum Sulfikar dan rekannya kembali berbeda di babak ini. Hamsul memilih menggugat penetapan tersangkanya melalui praperadilan di Pengadilan Negeri Makassar.
Pada 30 September 2025, katanya, hakim mengabulkan permohonan itu dan menyatakan penetapan tersangka terhadap Hamsul tidak sah secara formil.
“Putusan Nomor 36/Pid.Pra/2025/PN Mks juga memerintahkan penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” ungkap Soetarmi.
Dengan putusan itu, Hamsul lolos dari lanjutan perkara TPPU. Ia sebelumnya juga telah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis pidana asalnya, namun, ucap Soetarmi, Mahkamah Agung menolak permohonan tersebut melalui Putusan Nomor 168 PK/Pid/2023, yang menegaskan hukuman dua tahun enam bulan penjara sebagaimana amar kasasi Nomor 180 K/Pid.Sus/2023.
“Berbeda dengan Hamsul, Sulfikar masih harus menunggu nasibnya,” imbuhnya.
Ia tetap berstatus tersangka, sebutnya, TPPU dan kini berkas perkaranya kembali berada di tangan penyidik untuk diperbaiki.
Pengembalian berkas oleh kejaksaan ini menandai, proses hukum belum berhenti, sekaligus menjadi ujian bagi konsistensi aparat penegak hukum dalam menegakkan asas due process of law di setiap tahap penyidikan dan penuntutan, Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi, menandaskan. (Hdr)