Salah satu Aliansi Indonesia Raya, menyebut pesan Gibran ini sangat relevan. “Mas Gibran memberi contoh kepemimpinan yang menenangkan, bukan yang reaktif. Beliau ingin relawan menangkan hati rakyat dengan kerja, bukan dengan marah,” ujar salah satu relawan, yang menolak disebut namanya.
Menurut Dr. Hendra Wijaya, pengamat politik Universitas Indonesia, pernyataan Gibran itu merupakan sinyal kedewasaan politik baru yang memperkuat citra kepemimpinan teknokratis di Istana.
Gibran sedang membangun gaya politik yang berbeda: tidak emosional, tidak defensif, dan lebih berorientasi pada hasil. Ini resonan dengan publik muda dan kelas menengah yang mulai jenuh dengan politik konflik.
Ia menambahkan, sikap Gibran juga menjadi strategi komunikasi politik yang cerdas menjaga citra pemerintahan tetap stabil di tengah tekanan opini publik yang fluktuatif.
Pertemuan dengan Aliansi Indonesia Raya ini sekaligus menjadi momentum konsolidasi pasca satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran.
Bagi Gibran, soliditas relawan bukan soal jumlah, tetapi soal arah bagaimana mereka bersinergi dengan visi besar Indonesia Emas 2045.
“Kami ingin semua relawan tetap satu suara bekerja, berkontribusi, dan menjaga kondusivitas. Jangan terpecah hanya karena narasi negatif di luar sana,” ujar Gibran di akhir pertemuan.
Sikap diam Gibran di tengah badai isu justru menjadi statement politik tersendiri: diam bukan tanda lemah, tetapi bentuk kontrol diri dan fokus pada kerja nyata.
Dalam lanskap politik yang sering gaduh, gaya kepemimpinan semacam ini menghadirkan sense of calm authority kepemimpinan yang menenangkan di tengah kebisingan opini publik.
Penyampaian singkat Gibran di Kebayoran Baru hari ini bukan sekadar pesan internal relawan — melainkan isyarat politik strategis
bahwa kepemimpinan baru di Indonesia akan dibangun di atas kerja, kolaborasi, dan kedewasaan bernegara. (*)