Dalam arus besar pendidikan yang masih seragam—di mana anak diukur dari angka dan keseragaman dianggap keberhasilan—SALAM memilih jalannya sendiri.
“Kami menolak penyeragaman. Karena setiap anak berbeda. Kami ingin semua orang di SALAM berdikari—berdiri di atas kakinya sendiri, dan tahu mengapa ia belajar,” tambahnya.
Ia kemudian mengutip prinsip yang sudah lama hidup di SALAM: “Mendengarkan saya lupa. Melihat saya ingat. Melakukan saya paham. Menemukan sendiri saya kuasai.”
Itulah yang menjadi jiwa dari cara belajar di SALAM: pengalaman langsung, bukan instruksi.
Di akhir diskusi, Sakkir sebagai teman bicara SuarAsaESA menutup dengan refleksi lembut:
“Semoga sekolah tak hanya bercerita tentang peserta didik, tapi tentang manusia yang sedang belajar menjadi dirinya sendiri—tanpa takut berbeda.”
Sore itu, percakapan tak berhenti di layar. Ia menjelma jadi renungan: bahwa kemerdekaan belajar bukan hanya cita-cita, tapi keberanian untuk mempercayai bahwa setiap anak punya arah dan cara tumbuhnya sendiri. ( Musakkir Basri )