Rahman Rumaday, yang juga dipercaya sebagai penyelaras buku ini, menulis empat karya sarat perenungan sosial: Transfusi Ide, Diagnosa, Teman Itu Memantik, Bukan Memadamkan, serta Jalan Raya dan Suara yang Tak Didengar.
“Menulis bagi kami bukan sekadar menuangkan kata, tapi menemukan kembali diri dan rasa. Koordinat Rasa adalah peta batin yang membawa pembaca pulang ke makna,” ujar Rahman, yang akrab disapa Bang Maman.
Sementara itu, Ratna Sari mempersembahkan empat karya bernuansa laut dan kehidupan: Perjalanan Menenun Laut, Dari Tanah Doang, Nyanyian Penenun Buih Samudra, dan Senja, Laut, dan Inovasi.
Risnawati Anwas menulis tentang akar dan makna asal dalam Langkah Kecil dari Tamaona, sedangkan Gerhanita Syam menghadirkan renungan ekologis dalam Rumah Tumbuh yang Bernapas.
Zulhikma Julinda menyalurkan kehangatan lewat dua tulisan, Hidup Selalu Ada Hikmah dan Senyuman di Balik Lelah Hati.
Alifah Nurkhairina membawa kisah reflektif tentang perasaan dalam Seseorang yang Kusuka, sementara Dirk Sandarupa menggugah pembaca melalui Jejak Pulang Bermakna.
Antologi ini ditutup dengan tulisan inspiratif Nasri A. Muhammad Abduh berjudul Antara Aku, Buku, dan Guruku.
Buku Koordinat Rasa bukan sekadar kumpulan tulisan, tetapi ruang ekspresi yang menjembatani pengalaman pribadi dan kebijaksanaan universal. Setiap kisah di dalamnya beresonansi dengan tema cinta, kehilangan, perjalanan, dan kebangkitan — membentuk mozaik rasa yang utuh dan manusiawi.
Peluncuran resmi Koordinat Rasa rencananya akan digelar dalam waktu dekat, disertai sesi bedah buku dan diskusi publik.
“Semoga buku ini menjadi penanda bahwa literasi bukan hanya soal menulis dan membaca, tetapi juga perjalanan menemukan rasa dan makna hidup,” tutup Rahman Rumaday. ( ab )