PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR - Di Makassar, setiap sudut kota punya ceritanya sendiri. Namun pada Senin malam, 1 Desember 2025, cerita itu berkumpul dalam satu ruangan di Verda Contemporary Cuisine, Jln. Botolempangan. Bukan lewat narasi biasa, melainkan lewat denting piano, hembusan saxophone, dan ritme halus yang mengalir dari panggung kecil—semua menyatu untuk menyambut kelahiran album ke-4 Mangara Jazz Project, “The Sounds of Makassar.”
Tidak ada gegap-gempita. Yang ada justru kehangatan: senyum-senyum yang saling bertukar, gelas-gelas yang beradu pelan, dan irama jazz yang mengisi jeda percakapan. Ruang itu serupa ruang tamu yang besar, tempat para sahabat lama berkumpul. Sejumlah tokoh hadir, mulai dari Ilham Arief Sirajuddin, Farouk M Beta, Rusdin Tompo, Pahir Halim, Arman Arfah, hingga akademisi UNM Sukardi Weda—semuanya larut dalam suasana yang sejak awal terasa akrab.
Malam itu, musik menjadi jembatan. Ketika Ilham Arief Sirajuddin—Aco—yang juga Ketua PAPPRI Sulawesi Selatan, naik ke panggung dan menyanyikan sebuah lagu, ruangan seakan bernafas dalam harmoni. Penampilannya sederhana, namun justru kesederhanaan itulah yang membuat tepuk tangan pecah spontan. Jazz, bagaimanapun, memang bekerja demikian: ia merayakan ketulusan.
Setelah itu, Mangara Jazz Project membawa penonton memasuki lanskap musikal mereka. Setiap komposisi seperti membuka pintu baru tentang Makassar—tentang jalan-jalan yang sibuk, ombak yang tak pernah berhenti, hingga percakapan malam yang diselimuti aroma kopi. Album “The Sounds of Makassar” terasa seperti usaha untuk menangkap denyut kota, bukan lewat kata-kata, tetapi lewat frekuensi rasa.
Lalu hadir momen yang membuat banyak orang menahan napas. Dian Ekawati, artis senior Makassar, melangkah ke panggung dengan aura yang begitu tenang. Ia membawakan lagu-lagu jazz yang mengalun lembut, sebelum kemudian menghadirkan lagu Bugis legendaris Alosi Ripolo Dua (Pinang Dibelah Dua). Dalam balutan jazz, lagu itu terdengar berbeda—lebih intim, lebih membumi, dan lebih dekat dengan rumah.
Sementara musik mengalir, di salah satu sudut Sukardi Weda menikmati setiap nada sambil sesekali menyeruput teh dingin. Ia bukan sekadar penonton; ia adalah bagian dari ingatan kolektif kota ini. Seusai acara, ia menyampaikan apresiasi kepada Andi Mangara (Andi Tadampali), motor kreatif di balik Mangara Jazz Project.
“Selamat atas peluncuran album ke-4 ‘The Sounds of Makassar.’ Semoga Mangara Jazz Project terus berkarya dan menginspirasi,” ujarnya.
Malam itu berakhir tanpa glamour berlebihan, tapi justru di situlah letak keindahannya. Peluncuran album ini bukan sekadar agenda musik—ia adalah pertemuan antara nada dan kota, antara musisi dan sahabat, antara kenangan lama dan harapan baru.
“The Sounds of Makassar” lahir bukan hanya sebagai album, tetapi sebagai potret rasa: tentang bagaimana Makassar terdengar, dan bagaimana jazz mampu menjahitkan semuanya menjadi sebuah cerita yang hangat. ( Ardhy M. Basir )

