“Film ini bukan soal siapa benar dan salah, tetapi refleksi dari realitas. Saya berharap film ini menjadi surat cinta bagi para ibu yang harus bekerja dalam suasana batin yang tidak selalu dipahami orang lain,” ucap Reza.
Pengamat film sekaligus pemerhati HAM, Adhie Massardi, turut memberikan apresiasi. Menurutnya, Pangku mampu menampilkan potret kemiskinan secara jujur melalui pengalaman para aktornya.
“Bangsa ini diberi anugerah oleh Tuhan untuk hidup sejahtera, tetapi negara malah mengabaikan masyarakat hingga jatuh miskin. Akibatnya, mereka berdamai dengan penderitaan yang justru membahayakan diri mereka sendiri,” kata Adhie. Ia menilai film ini menjadi sarana kritik untuk meningkatkan kepedulian terhadap kelompok miskin.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama KemenHAM RI, M. Dimas Saudian, dalam keterangan terpisah menyebut Pangku mengingatkan persoalan HAM sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.
“Bedah film yang digelar bertepatan dengan Hari HAM Sedunia ini menjadi ruang kolaborasi penting untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan HAM semakin dekat dengan realitas masyarakat,” ungkap Dimas.
Untuk diketahui, Pangku mengangkat kisah Sartika, perempuan hamil yang merantau ke wilayah Pantura dan terjebak dalam praktik kopi pangku demi bertahan hidup. Berdurasi 1 jam 44 menit, film ini mendapat sambutan luas, meraih empat penghargaan di Busan International Film Festival (BIFF) dan masuk tujuh nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2025, termasuk Piala Citra, tandas Dimas. (Hdr)

