Antusiasme warga rendah. Ada TPS yang pemilihnya cuma 17 KK.
Menurutnya, penyebabnya cukup jelas. Sosialisasi minim, sementara teknis pemungutan suara banyak yang membingungkan. Ia mencontohkan kertas suara dengan delapan kotak pilihan tanpa foto, tanpa gambar, padahal calon hanya dua atau tiga orang. Banyak warga akhirnya mencoblos kotak kosong dan suaranya batal.
“Untuk apa dibuat kotak sebanyak itu kalau tidak sesuai jumlah calon,” keluhnya.
Belum lagi persoalan hak pilih. Mereka yang benar-benar tinggal di wilayah RW tetapi tidak tercatat dalam DPT, langsung ditolak. Tak diberi ruang memilih, berbeda dengan pemilu nasional yang memberi kesempatan memilih jika membawa identitas valid.
Padahal, menurut aturan, satu jam sebelum penghitungan suara, mereka yang punya hak pilih tetap boleh menyalurkan suaranya. Namun mekanisme pemilihan serentak versi Pemkot Makassar tidak membuka pintu itu. Panitia kukuh pada aturan yang ada.
“Katanya ini pesta demokrasi. Tentu masyarakat juga mau berpartisipasi dan menikmati pestanya,” ujarnya.
Keluhan dan kepedulian itu bukan tanpa dasar. Iwan Azis telah melewati empat dekade menjadi pengurus kampung. Sejak menjadi Ketua RT di Kampung Butung, Ketua RK di Kecamatan Wajo, Ketua RW di Kampung Melayu, hingga Wakil Ketua RW dan Ketua Kompleks Hj Kalla di Karampuang, hidupnya tak pernah jauh dari dinamika warga.
“Dulu orang tidak berminat jadi Ketua RT dan RW karena tidak ada insentif. Baru ada sejak era Ilham Arif Sirajuddin jadi wali kota,” kenangnya.
Tahun ini, kontestasi di Kota Makassar terbilang besar. Terdapat 9.211 calon ketua RT dan 2.169 calon ketua RW. Total 11.390 orang bersaing memperebutkan 6.027 kursi ketua RT dan 1.005 kursi ketua RW.
Dalam gelaran sebesar itu, cerita seperti yang terjadi di Karampuang menjadi mozaik tersendiri—sebuah fragmen kecil yang menunjukkan bahwa demokrasi kampung tetaplah hidup, kadang riuh, kadang riang, dan sesekali… ditentukan oleh keberuntungan. (ab)

