Sebagai Sekolah Adiwiyata Mandiri, SDN Mangkura I memikul peran yang lebih besar. Mereka tidak hanya diwajibkan menjaga standar lingkungan di sekolah sendiri, tetapi juga membina sekolah lain sebagai percontohan.
Guru-guru berbagi praktik baik. Siswa-siswa menjadi inspirasi bagi teman sebaya dari sekolah lain yang datang belajar. Dari cara mengelola bank sampah sederhana, membuat kompos, hingga mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam pembelajaran.
Di sinilah makna “mandiri” menjadi utuh: mandiri dalam perilaku, mandiri dalam budaya, dan mandiri dalam memberi dampak.
Pengakuan Nasional, Kerja yang Tetap Sunyi
Ketika nama SDN Mangkura I ditetapkan sebagai penerima Adiwiyata Mandiri 2025, sorak bangga tentu mengalir. Penghargaan nasional akan diserahkan di TMII, Jakarta, sebagai simbol pengakuan negara atas kerja mereka.
Namun di balik itu, roda kecil di sekolah tetap berputar dengan ritme yang sama. Anak-anak tetap datang pagi-pagi. Guru tetap mengingatkan soal kebersihan kelas. Tanaman tetap disiram. Sampah tetap dipilah.
Tidak ada yang berubah secara drastis, karena bagi SDN Mangkura I, budaya peduli lingkungan tidak lahir karena lomba—ia sudah hidup sebelum penghargaan datang.
Jejak yang Ditinggalkan untuk Masa Depan
Di tengah tantangan krisis iklim, banjir perkotaan, hingga gunungan sampah, langkah SDN Mangkura I mungkin terasa kecil. Namun justru dari langkah kecil itulah masa depan sedang disusun secara perlahan.
Dari anak-anak yang kini terbiasa menanam, merawat, dan menjaga, kelak akan lahir generasi yang tidak sekadar pintar, tetapi juga berani bertanggung jawab terhadap lingkungannya.
SDN Mangkura I telah membuktikan satu hal penting: bahwa sekolah tidak harus besar untuk memberi dampak besar.
Cukup dengan ketekunan, keteladanan, dan keberanian memulai dari hal yang sederhana.
Dan dari halaman kecil di Mangkura, sebuah harapan tumbuh untuk bumi yang lebih lestari. (Ardhy M Basir)

