Dugaan praktik ini kian menguat setelah beredar informasi mengenai keterkaitan RS dengan sekelompok individu yang diduga melakukan premanisme berkedok LSM dan wartawan di wilayah Kabupaten Bone. Kelompok tersebut disebut-sebut kerap menghentikan kendaraan angkutan, seperti mobil tangki dan truk, di jalan raya, melakukan pendokumentasian, serta menginterogasi sopir tanpa dasar kewenangan hukum.
Salah satu nama yang disebut dalam aktivitas tersebut adalah HR alias Herman, warga Kabupaten Bone yang berdomisili di Jalan Ahmad Yani. HR diduga bukan aparat penegak hukum maupun petugas resmi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan raya.
Apabila penghentian kendaraan tersebut disertai permintaan uang, maka tindakan tersebut patut diduga sebagai pemerasan. Lebih jauh, ketika permintaan itu tidak dipenuhi, kasus-kasus terkait justru diduga diangkat ke media tertentu sebagai bentuk tekanan dan intimidasi publik.
Dalam konteks inilah nama RS alias Rosna kembali mencuat. Pemberitaan diduga digunakan sebagai alat tekanan, tanpa keberimbangan, tanpa konfirmasi, dan tanpa menjunjung tinggi etika jurnalistik. Istilah “86” pun beredar di tengah masyarakat, yang merujuk pada dugaan praktik “uang damai” setelah pemberitaan diterbitkan.
Salah seorang korban mengaku dimintai Rp 3 juta sebelum berita dirilis, lalu kembali dimintai Rp 5 juta agar berita tersebut diturunkan. Bahkan, muncul pihak lain yang mengaku sebagai pimpinan pusat media dan menawarkan penyelesaian damai. Namun setelah dikonfirmasi, nama tersebut tidak dikenal oleh pemilik media resmi dan diduga merupakan bagian dari jaringan yang mencatut nama media.
“Itu bukan bagian dari kami. Jangan ditanggapi. Kami juga dirugikan oleh pencatutan nama media,” tegas pemilik media yang identitasnya dicatut.
Apabila rangkaian dugaan tersebut terbukti, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum, termasuk dugaan pemerasan, pencemaran nama baik, serta pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers sejatinya bekerja berdasarkan fakta, konfirmasi, dan etika, bukan tekanan, ancaman, ataupun transaksi.
Redaksi menilai Aparat Penegak Hukum (APH) perlu bersikap tegas dan objektif agar praktik serupa tidak terus berulang dan merugikan masyarakat, khususnya sopir angkutan, pelaku usaha, dan instansi yang menjadi sasaran. (*)

