Oleh: Dr. Zulkarnain Hamson, S.Sos. M.Si (Peneliti Jurnalisme dan Media)
Riset disertasi sejak 2020 hingga 2025, menyimpulkan Dalam era digital, “Jembatan Etika Dekolonial Global Lokal” merujuk pada tantangan menyeimbangkan pengaruh budaya global (seringkali dengan sisa jejak kolonial) dengan nilai-nilai lokal dalam media baru, di mana praktik seperti eksploitasi budaya lokal, penyebaran misinformasi.
Benturan nilai-nilai memicu kebutuhan akan etika digital yang mengintegrasikan standar global (literasi digital, anti-cyberbullying) dengan kearifan lokal untuk menciptakan konten yang otentik, menghargai identitas, dan partisipatif, menggunakan model etika “Glokal” sebagai solusi yang diharapkan mampu menjadi jembatan.
Dunia saat telah memetakan media dalam dua kelompok besar, yakni media mainstream (surat kabar, radio dan televisi), media digital berbasis internet dengan portal berita, web, blog dan media sosial lain yang sangat beragam, Youtube, Facebook, X, Instagram, Tiktok, dan masih banyak lagi lainnya.
Para pekerja media dan masyarakat membutuhkan perangkat pengetahuan untuk menghadapinya.
Visualisasi dan struktur model “Jembatan Etika Dekolonial Global Lokal” saya tawarkan dari rumusan penelitian dimulai dari model “Ekosistem Literasi Digital Indonesia” yang telah mendapatkan pengakuan dari lembaga Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tahun 2025, dalam praktik media baru, riset itu berbasis kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar, dengan menelisik Suku Jawa, Bali, Maluku, dan Kalimantan.
Penelitian itu mendapat pengawasan dari lima profesor, tiga dari Universitas Hasanuddin, satu dari Universitas Negeri Makassar (UNM) dan satu dari Universitas Islam Negeri Alauddin (UIN) Makassar. Menelisik model “Etika Digital Glokal” (Global-Lokal). Model itu berfungsi sebagai penyaring dan penyeimbang antara tekanan hegemoni digital global dan pelestarian identitas lokal.
Pilar Dasar (Input) untuk menganalisis fenomena itu dibagimenjadi: a) Standar Global (Universal): Literasi digital, keamanan siber, hak asasi digital, dan protokol anti-cyberbullying; b) Kearifan Lokal (Partikular): Adat istiadat, bahasa daerah, nilai-nilai komunal (seperti gotong royong), dan sensitivitas budaya spesifik Bugis-Makassar.
Solusi “Jembatan Etika” (Proses Transformasi), Jembatan itu terdiri dari tiga mekanisme utama untuk memitigasi dampak kolonialisme digital, yakni: pertama Dekolonisasi Narasi: Proses memeriksa ulang konten agar tidak mengeksploitasi budaya lokal hanya sebagai komoditas eksotis (anti-eksploitasi budaya).
Kedua “Filter Verifikasi Lokal”: Melawan misinformasi global dengan konteks budaya setempat. Informasi global tidak langsung diterima, melainkan diverifikasi melalui perspektif kebenaran lokal; ketiga Integrasi Nilai: Menggabungkan teknologi media baru (AI, media sosial) dengan etika perilaku lokal (tata krama/unggah-ungguh digital).
Dalam Praktik Media Baru (Output), hasil dari jembatan etika ini adalah konten dan interaksi yang memiliki ciri:
a) Otentisitas: Konten tidak hanya meniru tren global, tapi memiliki “jiwa” lokal yang kuat;

