“Jangan mudah minta maaf, pikir dulu sebelum ngomong. Dijaga etika berbahasa kita. Jangan sudah menimbulkan perpecahan di mana-mana, baru minta maaf. Inilah pentingnya bahasa. Dia tidak memahami etika berbahasa,” jelas Wahyu Wibowo.
Menurut saya, munculnya protes seperti ini karena penutur atau pengguna bahasa lalai terhadap etika berbahasa, yakni yang berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur.
E.K.M Masinambouw, doktor bidang etnolinguistik Universitas Indonesia (1976) dengan disertasi berjudul Konvergensi Etnolinguistik di Halmahera Tengah mengatakan dalam salah satu bukunya (1984) menyebutkan, sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsung suatu interaksi manusia di dalam masyarakat, Ini berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Clifford Geertz, ahli antropologi San Francisco, California, Amérika Serikat, kalahiran tahun 1926 pun menyebut sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.
Etika berbahasa berkaitan dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang berlaku di dalam masyarakat. Sejatinya, etika berbahasa ini “mengatur” kita dalam hal apa yang harus dikatakan kepada seseorang lawan tutur atau khalayak pada waktu dan keadaan tertentu dengan status sosial dan budaya masyarakat itu.
Dikaitkan dengan pandangan Geertz maupun Maninambouw tersebut, praktik berbahasa yang dilakukan EM melabrak norma-norma sosial budaya masyarakat, tempat yang menjadi konten ujarannya dalam berwacana.
Yang bersangkutan bisa saja berkelit dengan mengatakan “tempat yang jauh”, tetapi dia sedang berbicara mengenai pemindahan ibu kota negara dengan lokus Pulau Kalimantan.
Jika hanya menyebut pemindahan IKN itu cukup dengan frasa “tidak cocok”, mungkin tidak bermasalah. Tetapi ada tambahan klausa “tempat jin buang anak”, itulah yang menjadi pemicu lahirnya protes.
J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956 memperkenalkan teori istilah dan teori “tindak tutur” yang merupakan materi kuliah kemudian dibukukan oleh J.O. Umson (1962) dengan judul “How to do Thing with Word”. Teori itu menjadi terkenal setelah Searle, J. R menerbitkan buku berjudul “Speech acts: An essay in the philosophy of language” (1969).
Baik Austin maupun para filsuf dan para bahasawan menyebutkan bahwa tindak tutur adalah tuturan atau ujaran dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya itu. Serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech event).
Di dalam kasus ujaran EM, peristiwa tutur yang dilahirkannya adalah reaksi psikologis terhadap tuturannya, yang sama sekali tidak pernah dia prediksi sebelumnya. Tindak tutur yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan yang di dalam kajian wacana disebut sebagai tindak tutur lokusi. Yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu sebagaimana adanya (The Act of Saying Something).
Ujaran tersebut berpotensi menjadi tindak perlokusi, yakni tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau khalayak yang juga disebut sebagai “The Act of Affective Someone”.
Klausa “tempat jin buang anak” dapat dikategorikan sebagai tindak tutur perlokusi karena ada relasinya dengan lokasi pemindahan IKN. Lokasi pemindahan IKN dianggap tidak cocok karena siapa yang mau berinvestasi di sana yang lokasinya jauh dan ditimpali dengan klausa yang “tempat jin buang anak” itu.
Jika kita analisis dari segi analisis wacana kritis (critical discourse analysis), ini relevan dengan variabel relasional dan variabel sosial dalam teori analisis wacana kritis William C. Fairclough.
Fairclough (1992:110-12) mengemukakan bahwa analisis wacana kritis sebuah teks harus melalui tiga tahap yaitu deskripsi, interpretasi hubungan antara teks dan interaksi, dan penjelasan hubungan interaksi dan konteks sosial.
Kita mengambil hubungan antara teks dan interaksi dan penjelasan hubungan interaksi dengan konteks sosial. Teks dari ujaran EM berbunyi “tempat jin buang anak” yang disampaikan dalam suatu forum dan ditayangkan secara luas melalui kanal youtube (media sosial).
Ujaran itu merujuk pada lokus, tempat IKN dipindahkan, yakni Kalimantan Timur. Dari segi relasi sosial ujaran tersebut menohok kepada aspek sosial budaya penghuni Kalimantan Timur, meskipun EM berkelit yang dia maksud itu adalah “tempat yang jauh”. Tetapi dia berbicara dengan sangat semangat menyoal pemindahan IKN, bukan tempat yang jauh tanpa nama.
Ujaran tersebut di dalam analisis wacana juga dapat dikategorikan sebagai implikatur, yakni adanya keterkaitan antara ujaran dari seorang penutur dan lawan tutur (khalayak). Hanya saja, keterkaitan itu tidak tampak secara lateral (ada di sebelah sisi), tetapi dapat dipahami secara tersirat. Pemahaman secara tersirat di dalam ujaran EM adalah kaitan antara “tempat jin buang anak” dengan lokus IKN.
Saya kira, kesantunan berbahasa menjadi sangat penting bagi siapa pun yang melontarkan wacana. Sudah terlalu banyak kasus ujaran kebencian ini menggaduhkan situasi dan kondisi kondusif di tanah air. Bahasa setelah diucapkan sudah menjadi milik orang lain yang tentu saja akan memiliki persepsi dan interpretasi tersendiri terhadap ujaran tersebut.
Berbahasa di negara yang pluralistik dengan beragam sistem sosial budaya macam Indonesia memerlukan etika berbahasa. Kita harus betul-betul memikirkan apa yang hendak kita ucapkan agar tidak menabrak rambu-rambu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Wassalam. (*)
(Penulis, penyandang UKW Utama No.183/WU-DP/XI/2011 dan Tokoh Pers versi Dewan Pers, doktor dalam bidang lingusitik dengan kajian analisis wacana kritis bahasa jurnalistik, Uiversitas Hasanuddin Makassar)