“Untuk mencegah pernikahan anak ini diperlukan sosialisasi melalui kelompok agama, sosial, dan ekonomi,” ujar Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) tersebut.
Pernikahan anak ini antara lain disebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, pengetahuan mereka yang sangat terbatas, masalah ekonomi dan terbatasnya kemampuan melanjutkan pendidikan.
Berdasarkan catatan mahasiswanya, Prof.Hery Tahir menyebutkan, di Malakaji Kabupaten Gowa misalnya, anak-anak yang baru tamat SD dan SMP sudah ada yang menikah. Pernikahan dini ini akan berakibat pada meningkatnya anak putus sekolah.
Secara nasional pada tahun 2019 anak putus sekolah pada tingkat SD mencapai 1,12%. Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Ristek Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. dalam pemberitaan media daring menyebutkan, akibat pandemi Covid-19 terjadi 10 kali lipat kenaikan anak putus sekolah pada tingkat SD.
Angka ini diperoleh berdasarkan hasil survei kerja sama dengan Unicef.
Sementara itu, Badan Penelitian Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel dalam paparannya pada Forum Perangkat Daerah hari yang sama menyebutkan, angka putus sekolah pada level Sekolah Menengah Atas (SMA) yang merupakan kewenangan provinsi mencapai 50%.Tingginya angka putus sekolah pada tngkat SMA ini juga berpengaruh pada indeks pembangunan manusia Sulsel. Hingga saat ini baru 10 kabupaten dan kota yang sudah diverifikasi.
Pertumbuhan ekonomi Sulsel akibat pandemi Covid-19 menurun sampai 0,70% namun pada tahun 2021 mulai naik menjadi 3,71%. Tingkat kemiskinan bertahan pada 8,53%. Pandemi juga telah menimbulkan pengangguran baru. Bahkan kini ada istilah pengangguran ekstrem yang mencapai 27-30 orang per hari. Pengangguran ekstrem ini ditemukan pada lima kabupaten, yakni Luwu, Luwu Utara, Pangkep, Jeneponto, dan Bone. (MDA).