[caption id="attachment_3073" align="alignnone" width="300"] Prof.Dr..Hery Tahir, S.H.,M.H. (tengah)[/caption]
PEDOMANRAKYAT -- Makassar
Indikator makro perkembangan pembangunan Sulawesi Selatan antara lain ditandai dengan indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang mengalami kenaikan dari 71,93 menjadi 72,24. Pada hampir seluruh kabupaten/kota di Sulsel faktor yang memengaruhi IPM ini adalah sektor pendidikan, sementara sektor kesehatan dan daya beli masyarakat cukup bagus.
“Masih tingginya anak putus sekolah (APS) yang mencapai 178.000 orang (2019) memberi kontribusi tertinggi dari sektor pendidikan ini terhadap IPM Sulsel,” ujar Prof.Dr.Hery Tahir, S.H.,M.H. anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulsel di depan peserta Forum Perangkat Daerah yang dihelat Dispora Sulsel, di Hotel Best Western Makassar Beach, Kamis (24/2/2022).
Pada tahun 2019 anak putus sekolah di Sulsel mencapai 178.000. Mereka yang putus sekolah antara lain karena tidak mampu dari segi ekonomi terutama pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Anak-anak yang seharusnya menikmati pendidikan maksimal 12 tahun, akhirnya karena putus sekolah hanya mengikuti pendidikan 8 tahun.
“Perlu pemerintah desa dan kelurahan terlibat dalam mencegah dan mengurangi anak putus sekolah ini. Mengingat persentasennya masih sangat tinggi, maka diperlukan adanya partisipasi dengan aksi,” ujar Prof. Hery Tahir.
Daerah dengan APS tertinggi adalah Kabupaten Wajo. Padahal, daerah ini termasuk “kabupaten terpelajar” dengan banyaknya ilmuwan dan tokoh akademik yang lahir. Namun penyebab yang menonjol selain masalah ekonomi, juga karena terjadinya pernikahan anak. Secara nasional, kata Hery Tahir, pernikahan anak ini mencapai 10,5%, Sulsel 12,1%, sementara di Kabupaten Bone tercatat 14,5%.
Pengadilan Agama Kabupaten Bone pada tahun 2019 merilis data bahwa terjadi 228 kasus pernikahan anak.
“Untuk mencegah pernikahan anak ini diperlukan sosialisasi melalui kelompok agama, sosial, dan ekonomi,” ujar Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) tersebut.
Pernikahan anak ini antara lain disebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, pengetahuan mereka yang sangat terbatas, masalah ekonomi dan terbatasnya kemampuan melanjutkan pendidikan.
Berdasarkan catatan mahasiswanya, Prof.Hery Tahir menyebutkan, di Malakaji Kabupaten Gowa misalnya, anak-anak yang baru tamat SD dan SMP sudah ada yang menikah. Pernikahan dini ini akan berakibat pada meningkatnya anak putus sekolah.
Secara nasional pada tahun 2019 anak putus sekolah pada tingkat SD mencapai 1,12%. Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud Ristek Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd. dalam pemberitaan media daring menyebutkan, akibat pandemi Covid-19 terjadi 10 kali lipat kenaikan anak putus sekolah pada tingkat SD.
Angka ini diperoleh berdasarkan hasil survei kerja sama dengan Unicef.
Sementara itu, Badan Penelitian Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel dalam paparannya pada Forum Perangkat Daerah hari yang sama menyebutkan, angka putus sekolah pada level Sekolah Menengah Atas (SMA) yang merupakan kewenangan provinsi mencapai 50%.Tingginya angka putus sekolah pada tngkat SMA ini juga berpengaruh pada indeks pembangunan manusia Sulsel. Hingga saat ini baru 10 kabupaten dan kota yang sudah diverifikasi.
Pertumbuhan ekonomi Sulsel akibat pandemi Covid-19 menurun sampai 0,70% namun pada tahun 2021 mulai naik menjadi 3,71%. Tingkat kemiskinan bertahan pada 8,53%. Pandemi juga telah menimbulkan pengangguran baru. Bahkan kini ada istilah pengangguran ekstrem yang mencapai 27-30 orang per hari. Pengangguran ekstrem ini ditemukan pada lima kabupaten, yakni Luwu, Luwu Utara, Pangkep, Jeneponto, dan Bone. (MDA).