Oleh : Mahrus Andis, Budayawan, Kritikus Sastra, dan Mubalig
Di kampung saya, di belakang rumah orang tua, ada muara sungai yang membentang dari Barat ke Selatan. Di antara muara dan bibir pantai, di situlah tempat saya dan teman-teman seusia sering bermain pasir, berkejaran sambil menanti kedatangan rombongan kerbau melintas menuju kandang. Biasanya kerbau kembali ke kandang menjelang Magrib.
Puncak kegembiraan ketika rombongan kerbau-kerbau itu sudah melintas di tempat kami menunggu. Saya dan teman-teman segera mencari kerbau tunggangan masing-masing.
Tedong Coko, kerbau yang ujung tanduknya menghadap ke bawah adalah pilihan saya. Kerbau seperti ini biasanya tidak liar, tenang, penurut, namun kurang peduli. Karena wataknya itulah sehingga Tedong Coko sering disifatkan kepada manusia yang suka bermasabodoh.
Di kampung saya, apabila ada orang yang bersifat terlalu penurut, selalu mengalah, hanya ingin menerima yang gampang-gampangnya dan kurang peduli terhadap persoalan di sekelilingnya, maka ia sering diidentikkan dengan Tedong Coko.
Tipikal manusia Tedong Coko banyak di sekitar kita. Di kantor, di pasar, di sekolah, di jalan raya, bahkan di masjid pun; tidak sedikit dijumpai manusia Tedong Coko. Sifat utama manusia Tedong Coko hanya satu, yaitu: Tennaulle Masussa (Bahasa Bugis; tidak ingin mengambil susah).
Saya senang menunggang di punggung Tedong Coko. Tapi, ditunggangi oleh sifat-sifat Tedong Coko, saya sangat pantang. Orang tua-tua di kampung mengutuk sifat seperti itu. Kata mereka, sifat yang demikian identik dengan perilaku masabodoh;Â menutup diri dari dinamika kehidupan sekitarnya. ***
Makassar, 13 Maret 2022