Jadi, tegasnya, kita harus bergerak agar jangan sampai semua disalahkan ke ASN. “Tolong para pimpinan ASN diingatkan sama-sama. Dan ini juga bagian dari struktur besar kita, ongkos politik pilkada juga terlalu mahal. Sehingga mereka cari kembalian melalui proyek, melalui izin-izin. Dan itu yang mengeksekusi para ASN. Kasihan banyak ASN yang menjadi korban. Kalau tidak mengikuti kepala daerah bisa dipecat, kalau mengikuti ada resiko terkena tindak pidana korupsi,” paparnya.
Prof Zudan menjelaskan, ASN tidak bisa sendirian membenahi system ini tapi harus secara bersama-sama. Karena ASN ada atasannya. Ada juga satu dua ASN yang nakal bermain sendiri. Tapi itu, kata Prof Zudan mudah menyelesaikannya. Rata-rata kalau yang korupsi kepala daerah pasti ASN dibawahnya banyak. Tapi kalau ASN bermain sendiri, kepala daerahnya tidak terkena karena bermain kecil.
“Ini harus dicermati, kita harus bergerak komperhensif bersama-sama dari pimpinan sampai bawahan, semua harus punya niat yang sama. Kalau hanya ASN yang disuruh terus berat juga,” tuturnya.
“Banyak ASN yang terkena masalah Tipikor, tapi penyebabnya apa ? Itu yang harus dilihat. Kan sering kali satu paket dengan kepala daerah nya, karena masalah jabatan, masalah pengadaan barang dan jasa, masalah perizinan,” sambungnya.
Menurutnya, terjadi korupsi karena gaji pejabat yang masih rendah. Gaji Bupati hanya Rp 6 juta, gaji Gubernur Rp 8 juta. Mestinya dinaikkan gaji bupati Rp 150 juta, gaji gubernur Rp 200 juta. “Tentu harus disesuaikan dengan provinsinya. Kalau provinsi kecil gajinya 75 juta, provinsi besar 200 juta. Misalnya seperti itu,” ujarnya.
Prof Zudan mengaku dirinya pernah menjadi pj gubernur gajinya hanya Rp 8 juta, terlalu sedikit sedangkan yang minta sumbangan banyak. “Kalau membahas korupsi, penuhi dulu kebutuhan minimal untuk hidupnya, sekolahkan anak, kesehatan, kemudian ongkos politiknya jangan mahal,” pungkasnya. (*)