“KoPi Makassar rutin merilis berita terkait aktivitas sastra yang mungkin bisa jadi bahan kajian para peneliti. Itu mendorong untuk terus mengembangkan sastra Makassar, juga sastra berbahasa Bugis dan Toraja karena akan memperkaya khasanah sastra lokal kita,” ucap Yudhistira yang juga dikenal sebagai sutradara teater
“Sastra daerah ini mirip jalan sepi yang tidak dilirik penyair kita,” ungkap Edy Thamrin – nama lengkapnya.
Maysir Yulanwar selaku penyair, memulai ulasannya dengan menukil Charles Bukowski. Penyair dan penulis Amerika Serikat itu, jelas Maysir, pernah berkata bahwa aku menulis dan aku tidak peduli dengan penilaian orang lain. Baginya, ketika menulis, kita tidak harus sama dengan orang lain, bila perlu berani berbeda dengan orang lain.
Terkait puisi, lanjut Maysir, ketika seseorang membaca puisi, dia bukan sedang membaca puisi tapi membaca perasaan. Seorang penyair yang menekuni puisi, apapun yang terlintas di benaknya akan ditangkap, dijadikan puisi. Kalau kemudian ada yang mengkritisinya maka sebenarnya dia hanya mempoteksi pemikirannya sendiri.
“Bagi penyair, yang perlu dilakukan adalah mengolah rasa. Karena kalau mengolah kata itu sudah selesai,” paparnya.
Lelaki yang telah menerbitkan buku kumpulan puisi “Sembunyi”, 2017, itu berbagi pengalaman tentang proses kreatifnya. Ada dua cara yang biasa di lakukan, kata Maysir, Pertama, dia membiasakan diri untuk selalu sadar akan tindakan yang dilakukannya. Kedua, dia sadar bahwa ketika masih bernapas, itu suatu hal luar biasa, bukan kelaziman. Artinya, kita bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Apalagi saat bisa mencipta puisi.
Pemantik lainnya, Anil Hukma mengapresiasi Sastra Sabtu Sore, yang dinilai merupakan sesuatu yang membahagiakan. Karena bisa bertemu sesama penyair dan penikmat sastra.
Menurutnya Anil menambahkan, hidup itu harus digagas dan diprogramkan. “Resolusi dalam Puisi” merupakan cermin dan bukti bahwa ada kreativitas dan karya yang dibuat di suatu masa dan tempat. Resolusi itu sebuah janji agar jangan mati di tengah jalan. Tapi, diingatkan, untuk kreatif menulis harus banyak membaca buku dan tulisan di platform digital.
Dekan di UIN ini melanjutkan, banyak potensi dalam diri kita yang mesti dikeluarkan. Dialog semacam ini sebenarnya pemicu untuk kita menulis. Penyair itu berdialog dengan dirinya dalam bentuk teks dan kata-kata. Seorang seniman itu peka dan tidak akan lari dari Tuhan. Tuhan itu pencipta besar, penyair itu pencipta kecil.
“Sastra Sabtu Sore itu silaturahmi budaya, semacam oase tempat kita keluar dari aktivitas rutin,” imbuhnya. (*/rk)