Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Kata Marhaban, sebagaimana dikutip oleh Quraiys Shihab dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata rahb, yang berarti lapang. Marhaban ya Ramadan, berarti kami menyambutmu dengan penuh kegembiraan dan kami persiapkan untuk mu tempat yang luas agar engkau bebas melakukan apa saja, yang berkaitan dengan upaya mengasah dan mengasuh jiwa kami.
Ramadan identik dengan membakar atau mengasah. Disebut demikian, karena pada bulan ini, dosa-dosa dan kesalahan yang mungkin pernah dilakukan oleh seseorang, akan diampuni oleh Allah SWT. Dosa seseorang akan diampuni oleh Allah SWT jika saja mereka mengikuti dan menaati segala aturan dan ketentuan di dalam bulan tersebut.
Kata ahl, keluarga, sahl, kemudahan. Ketika kita mengucapkan kata “Ahlan wa Sahlan” kepada seseorang, berarti orang tersebut hadir di tengah-tengah sebuah keluarga dengan mendapat segala kemudahan yang diinginkannya, juga melangkahkan kaki di dataran rendah dengan mudah.
Ahlan wa Sahlan dan Ramadan, memiliki makna yang sama. Bedanya, ahlan wa sahlan berarti menuruni jalan yang rendah dengan menemukan segala kemudahan, mungkin juga fasilitas, hingga tidak menemukan kendala berarti dalam melakukan suatu tindakan.
Sementara Ramadan, berarti juga menanjak, naik ke atas. Hal ini bisa saja berarti, ketika kita mampu melaksanakan semua sesuai aturan yang ada di dalam bulan ini, maka kita akan naik ke atas.
Apakah jiwa, hati, atau pahala kita yang naik? Hati seseorang akan naik menuju kepada kebersihan dan ketulusan hati, jika ia mampu menjaga hatinya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Apa yang dilarang di dalam bulan ini? Tentu saja, hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasa.
Selain melaksanakan ibadah puasa, umat Islam juga diajak untuk senantiasa, melaksanakan amalan keagamaan yang dapat meningkatkan ketakwaannya kepada Allah SWT seperti tadarrus dan tarwih.
Satu hal yang sangat istimewa yang diberikan Allah SWT di bulan Ramadan ini, yakni ketika para ahli agama menyampaikan, “Di bulan suci ini, syitan dibelenggu agar tidak menggangu mereka yang melaksanakan ibadah puasa.”
Benarkah demikian? Kalau benar, asumsi saya, salat tarawih pasti ramai, tadarrus dan pengajian al-Quran, akan terdengar di mana-mana, mungkin tidak akan ada lagi orang yang berbohong, tidak akan ada lagi yang menyakiti hati orang-orang miskin dan tidak punya, tidak akan ada lagi orang yang membela yang salah, apalagi membenarkan yang salah.
Namanya juga mungkin, segalanya bisa dan mungkin saja terjadi. Setidaknya, hal tersebut menjadi nasihat bagi diri sendiri, yang meyakini bahwasanya apa pun yang kita lakukan di dunia ini, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Akhirnya , apakah kita ber-Ahlan wa Sahlan atau ber Marhaban ya Ramadan? Jawabannya, ada pada diri kita masing-masing. Allah A'lam
Makassar, 01 April 2022