“Sinergitas dan isi terasa utuh,” kata Mahrus Andis.
Kendati demikian, Mahrus Andis menyebut, beberapa puisi Agus dalam buku ini tidak terbebas dari berbagai kelemahan, terutama dari aspek komunikatifnya.
Puisi yang bagus menurut Mahrus Andis, selain indah dan berisi perenungan batin, juga harus komunikatif. Diksi yang mewakili penyair harus jelas, harmonis, dan logis.
Demikian pula penggunaan majas, sedapat mungkin representatif dengan sesuatu yang digambarkan. Pada tataran ini, penyair kurang intens menekuni diksi-diksi semiotiknya. Akibatnya, beberapa frasa pada larik-larik puisinya terasa kurang cair. Tidak komunikatif.
Padahal, puisi yang lahir dari akal budi secara utuh, akan terasa nikmat dalam pencernaan imaji pembaca. Amanat yang dikandungnya pun bersifat inklusif dan menyarankan pesan-pesan filosofis ke dalam hati penikmatnya.
Terkait puisinya yang dihimpun dalam buku setebal 84 halaman ini, Agus K Saputra mengakui, sebagai bagian dari proses belajarnya menulis puisi yang belum tentu selaras dengan perkembangan saat ini.
“Himpunan puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil masih merupakan bagian dari proses belajar saya menulis puisi. Bisa jadi, hasilnya sangat tertinggal dengan langgam penulisan puisi zaman now dan millennial ini,” katanya.
Sementara Suradi Yasil yang mengaku, sebagai penikmat puisi, dia sulit menemukan diksi yang memberi dan menginspirasi dalam buku karya Agus Saputra ini, dan baru menemukannya pada puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil yang ditulis ketika malam meninggalkan sinarnya.
Suradi mengatakan, “Malam meninggalkan sinarnya, diksi yang hebat. Penyair tidak mengatakan, malam gelap.”
Gaya personifikasi Agus Saputra menggunakan diksi malam meninggalkan sinarnya menurut Suradi sesuatu yang baru dan menyegarkan.***