PEDOMANRAKYAT, MAKASSAR -
Menulis puisi harus bisa menggunakan diksi baru dalam menuangkan karyanya dan harus berani mempertahankan tulisannya.
Demikian salah satu benang merah dalam Diskusi Buku Puisi Sepucuk Surat Dan Kisah Masa Kecil karya Agus K Saputra di Kafe Baca Jl Adhyaksa No 2 Makassar, Kamis (31/3/2022).
Kegiatan ini diselenggarakan Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT) itu dihadiri sejumlah sastrawan dan penulis, di antaranya Yudhistira Sukatanya, Muhammad Amir Jaya, Idwar Anwar, Rusdin Tompo, Rahman Rumuday.
Hadir pula akademisi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Fadli Andi Nasit, pendongeng Mami Kiko bersama bonekanya, Nasrul Zakariyah, serta Syahril Daeng Nassa.
Dalam diskusi yang berlangsung sekira dua jam itu, FOSAIT menghadirkan dua pembincang, Suradi Yasil (penulis puisi) dan Mahrus Andis (kritikus sastra), dimoderatori cerpenis Anwar Nasyaruddin.
Diskusi berjalan dinamis dan memberi banyak masukan selain apresiasi kepada penulis antologi buku puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil ini.
Mahrus Andis mengatakan, membincangkan puisi agak rumit dibanding membahas karya sastra lainnya, seperti cerpen, novel, atau drama. Itu karena anasir struktur yang membangun puisi itu sangat kompleks.
Dalam kajian ilmu sastra, lanjut kritikus sastra kelahiran Bulukumba ini, puisi dibangun oleh struktur fisik dan batin yang menjadi satu kesatuan yang organis. Tidak boleh mengejar bentuk, namun isinya ringan.
Buku antologi puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil karya Agus Saputra, yang memuat 50 buah puisi itu, menurut Mahrus Andis, umumnya bertema cinta yang terluka dan kenangan masa silam.
Mahrus Andis mengaku, kesan pertama yang ditangkap pada puisi Agus Saputra ini, unsur pengimajisiannya kuat. Intensitas penemuan diksi menghadirkan larik-larik puisinya terasa indah dan nikmat diresapi.
“Sinergitas dan isi terasa utuh,” kata Mahrus Andis.
Kendati demikian, Mahrus Andis menyebut, beberapa puisi Agus dalam buku ini tidak terbebas dari berbagai kelemahan, terutama dari aspek komunikatifnya.
Puisi yang bagus menurut Mahrus Andis, selain indah dan berisi perenungan batin, juga harus komunikatif. Diksi yang mewakili penyair harus jelas, harmonis, dan logis.
Demikian pula penggunaan majas, sedapat mungkin representatif dengan sesuatu yang digambarkan. Pada tataran ini, penyair kurang intens menekuni diksi-diksi semiotiknya. Akibatnya, beberapa frasa pada larik-larik puisinya terasa kurang cair. Tidak komunikatif.
Padahal, puisi yang lahir dari akal budi secara utuh, akan terasa nikmat dalam pencernaan imaji pembaca. Amanat yang dikandungnya pun bersifat inklusif dan menyarankan pesan-pesan filosofis ke dalam hati penikmatnya.
Terkait puisinya yang dihimpun dalam buku setebal 84 halaman ini, Agus K Saputra mengakui, sebagai bagian dari proses belajarnya menulis puisi yang belum tentu selaras dengan perkembangan saat ini.
“Himpunan puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil masih merupakan bagian dari proses belajar saya menulis puisi. Bisa jadi, hasilnya sangat tertinggal dengan langgam penulisan puisi zaman now dan millennial ini,” katanya.
Sementara Suradi Yasil yang mengaku, sebagai penikmat puisi, dia sulit menemukan diksi yang memberi dan menginspirasi dalam buku karya Agus Saputra ini, dan baru menemukannya pada puisi Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil yang ditulis ketika malam meninggalkan sinarnya.
Suradi mengatakan, “Malam meninggalkan sinarnya, diksi yang hebat. Penyair tidak mengatakan, malam gelap.”
Gaya personifikasi Agus Saputra menggunakan diksi malam meninggalkan sinarnya menurut Suradi sesuatu yang baru dan menyegarkan.***