di antara kaki-kaki pejalan yang seliweran/
di antara kerumunan orang menawarkan dagangan/
tangan-tangan kecil pengemis tengadah berharap recehan/
biar bisa makan, meski hanya cukup seharian
rumah jabatan wali kota kulihat terbuka pagar besinya/
tapi sekelilingnya penuh CCTV dan penjaga/
terasa berjarak penuh curiga/
batas pemimpin dengan rakyat begitu nyata/
potret ironi itu ada di rumah jabatan wali kota/
potret yang kontras bisa ditengok pada kekumuhan warga”.
-8 Oktober 2017-
Struktur puisi di atas terdiri dari 3 bait. Masing-masing bait mengusung ideologinya sendiri. Puisi bergaya narasi ini, secara utuh, adalah cerita kritis tentang paradigma seorang penyair terhadap kehidupan demokrasi.
Di mata Rusdin, citra sebuah rumah jabatan seringkali tidak mewakili suasana kehidupan demokrasi. Ia sekadar simbol kemewahan bagi dunia birokrasi, dan menjadi bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi.
(bersambung)