Oleh : H Hasaruddin, Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Seperti biasa, hari Sabtu/ Ahad, saya dan isteri “berburu” ikan di salah satu pelelangan ikan di Kota Makassar. Hasilnya, lumayan untuk persiapan satu pekan ke depan.
Selama dalam perjalanan, banyak hal yang kami perbincangkan, perkembangan bacaan Alquran anak-anak di rumah, sekolah mereka, dan kesiapan mereka sekolah off line nantinya. Di antara sekian percakapan kami berdua, yang paling menarik adalah seputar video salah seorang mantan anggota dewan, yang sudah menyebar di youtube, Angelina Sondakh.
Saya pribadi, belum pernah menyimak hingga tuntas video tersebut. Tidak demikian isteri saya yang sudah beberapa kali menyimak kisah seorang Angelina Sondakh.
Di antara kisah yang diungkapkan adalah, ucapan seorang Angelina yang berkata, “Ternyata, makan tempe pun kita bisa kenyang.” Tulisan ini mungkin tidak persis dengan apa yang disampaikan, namun substansi dari maksud pernyataannya, semoga tidak meleset.
Ungkapan, “Makan tempe pun bisa kenyang”, merupakan ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Ketika kita mampu makan tempe, maka hal tersebut perlu disyukuri jika dibandingkan dengan saudara-saudara kita di tempat lain, yang jangankan makan tempe, membelinya saja mungkin mereka belum mampu, apalagi konon harga bakan baku kedelai melonjak naik.
Kita bersyukur, semoga syukur kita diterima oleh Allah SWT, lalu Allah menambah nikmat lainnya kepada hamba yang pandai bersyukur.
Obrolan kedua, adalah seputar harta kekayaan yang diungkap oleh Angelina Sondakh. Ungkapannya kurang lebih, “Ketika kita mengejar harta, maka hal tersebut seperti fatamorgana, makin dimiliki ternyata biasa saja, bahkan ketika kita memiliki satu, kita ingin yang lain juga.”
Ungkapan seperti mirip dengan coretan yang sudah saya tulis beberapa waktu lalu, yakni, “Bagai meminum air laut”.
Ya, ketika seseorang merasa kehausan, lalu meminum air laut, saat itu kalaupun perutnya sudah kembung, namun ia tidak pernah merasa kenyang. Demikian harta, sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW, “Ketika seseorang telah memiliki sebuah bukit emas, maka ia ingin yang kedua, ketiga dan sebagainya.”
Di sini seharusnya, kita mampu menahan dan mengontrol diri pribadi untuk tidak terjebak dalam hal tersebut. Saya teringat apa yang pernah disampaikan oleh almarhum ayah saya, Allahummagfir lahu.
Ketika almarhum ayah saya ditawari untuk membeli tanah oleh beberapa kerabat yang sering ke rumah, almarhum hanya menjawab, “Untuk apa saya beli tanah, kuburan nantinya paling segini (sambil membetangkan kedua tangan beliau). Apalagi anak-anak saya nantinya, mampu membeli rumah masing- masing.”
Bagi sebahagian orang, ini mungkin dianggap lelucon, namun tidak sebaliknya almarhum.
Dari dua pernyataan di atas, setidaknya mengajak kita kaum Mukmin yang sedang melaksanakan ibadah puasa untuk senantiasa mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman seseorang. Bukankah pengalaman merupakan guru terbaik dalam hidup ini?
Sesungguhnya ibadah puasa yang kita laksanakan, merupakan upaya untuk tidak terjatuh pada dominasi nafsu hedonis, kalau hal ini mampu kita lakukan, maka sesungguhnya kita tengah menumbuhkan dan memperkuat kualitas insani kita, dalam upaya meraih sukses hidup yang lebih baik kualitasnya.
Semoga kita mampu melakukannya, apalagi di saat banyak masyarakat yang hidupnya mungkin tidak lebih baik dibanding kita, di tengah melonjaknya berbagai kebutuhan pokok masyarakat, sementara pendapatan tidak mengalami peningkatan.
Ya Allah tuntun lah kami ke jalan yang Engkau Ridhoi, berilah kami pemimpin sebagaimana Umar ibn al-Aziz, yang takut akan ancaman hari pembalasan dan sangat takut kepada-Mu, agar kami mampu mewujudkan masyarakat adil, makmur yang Engkau Ridhoi. Allah A' lam
Makassar, 09 April 2022