''Selamat sore''. Suara itu menggelegar di telingaku. Tapi aku tidak segera merespon. Sebelum mengarahkan wajah, aku tengok ke depan dan juga ke arah yang berlawanan. Tidak ada orang lain. Salam itu pasti untukku. "Selamat sore " jawabku.
[caption id="attachment_9341" align="alignnone" width="284"] CUCU. Cucu penulis yang diantar ke Manado lewat darat.[/caption]
Aku melihat wajahnya. Dia tertawa lebar. "Bapak mau ke masjid," ? Saya mengangguk. "Bapak tinggal di mana," ?
Sebelum menjawab, aku membatin. Pengurus RT rupanya. Aku hanya menunjuk jalan, tidak tahu nama dan nomornya. "Bapak yang pakai Pajero putih kan," ? "Betul," jawabku sambil ngangguk.
Ke Manado kami memang pakai Pajero untuk perjalanan tiga hari dua malam. Aku semakin yakin orang tua itu pengurus RT. Aku dan rombongan pasti diminta melapor.
Ternyata dia bukan pengurus RT. Rumah tempatnya berdiri di Kompleks Perumahan Wale Manguni Paal Dua, adalah peninggalan orang tua, yang dihuni saudara perempuannya. Dia menyebut rumahnya, di bagian lain kota Manado.
Pak Ronald mengaku senang saja datang. Apalagi adik perempuannya masih kantoran. Dia sekaligus bantu adik menjaga rumah . Aku menulis ini, untuk menggambarkan karakter asli orang sana. Laki atau perempuan, tua dan muda. Semuanya gampang menyapa, kepada siapapun yang mereka temui.
Kalau ada kakek- kakek seperti saya, disapa gadis.cantik berkulit putih, dengan rok di atas lutut, "selamat tengah hari om." Jangan lalu merasa besar kepala, seakan mendapat "durian runtuh". Mendapat gadis cantik yang tiada banding. Anda akan kecele dan bisa malu- maluin.
Sapaan mereka murni sopan santun yang tidak hanya menjadi milik orang tua, tapi juga sampai anak- anak tingkat sekolah dasar. Saya amati, keramahan warga bukan hanya dominasi warga Salib, tapi juga hampir merata di seluruh masyarakat, termasuk remaja- remaja muslim.
Magrib semakin dekat, "maaf pak Ronald, sedikit lagi adzan," saya pamit menuju Masjid Sabilul Muhtadin. Masjid itu termasuk besar, jamaahnya juga lumayan banyak. Aku menghitung lebih 30 an orang,
Pak Rahmat adalah imam resmi yang memimpin shalat lima waktu. Selama empat hari ikut beribadah dengan mereka, tiga jamaah lainnya bergantian maju ke depan, kalau pak imam berhalangan.
Terus terang saya menunggu dipersilakan pimpin shalat, malah siap sekali- sekali menyampaikan kultum. Ternyata tidak ada tawaran. Menjelang pulang kampung, baru saya tahu. Meski saya jamaah paling senior, namun tidak berkopiah, tidak memenuhi syarat menjadi imam.
Saya juga menemukan perangai baik warga Manado yang kadang- kadang tidak ditemukan di kampung kita.
Sebagai orang baru yang ingin berkunjung ke banyak tempat malu bertanya sesat di jalan.
Saya manfaatkan dengan baik pepatah itu. Mencari Puskesmas tanya tetangga dan tukang ojek. Saat mencari masjid atau rumah makan halal, tanya ibu yang berkerudung. Ingin tahu toko obat china, tanya gadis cantik yang kasir di mart.
" Maaf nak, boleh saya tanya," saya berusaha sesopan mungkin. "Ikut saja jalur ini, paling ujung kiri," jawab si cantik manis sekali. Begitu pun ketika mencari pantai untuk terapi air laut. Siapapun yang diminta informasi akan dengan tulus memberi penjelasan lengkap. Lengkap sejelas- jelasnya dan tulus. (H Yasmin Tendan, di Manado)._